Karangan bunga masih segar menghiasi Kawasan Stadion Kanjuruhan Malang.
Bau dupa masih cukup menyengat di depan pintu 13 dan beberapa pintu lainnya. Doa-doa dan puja-puja kepada Tuhan Yang Maha Esa masih dirapalkan oleh mereka yang datang di stadion kebanggaan warga Malang itu. Semua seakan masih berselimut duka walau telah 6 hari berlalu sejak tragedi mengerikan tersebut terjadi.
Saya mendatangi Stadion Kanjuruhan untuk kali pertama sejak 4 tahun terakhir. Selepas bertakziah kepada salah seorang rekan yang menjadi korban, saya menyempatkan hadir di sana.Â
Jujur, mulanya saya ragu untuk mendatangi tempat mengerikan tersebut karena saya mudah sekali mengalami trauma akan sebuah kejadian buruk. Rasanya, otak ini akan terus memutar berbagai kejadian tersebut hingga saya tak memiliki gairah untuk menjalani aktivitas.
Hampir seminggu berlalu, stadion ini kemudian beralih fungsi. Bukan lagi sebuah bangunan megah dengan kebanggan prestasi olahraga melainkan sebuah museum besar yang menyimpan cerita kelam akan sebuah tragedi layaknya perang.
Seorang remaja SMA yang datang bersama beberapa rekannya mengenakan kaos hitam Arema yang saya temui di dekat pintu 4 bahkan mengatakan mereka bak seperti sedang berada di Jerman. Bertandang ke monumen pembantaian para korban perang oleh Tentara Nazi.
Walau tampak berlebihan, tetapi dari celoteh mereka yang saya tangkap adalah sedikit kesamaaan mengenai jatuhnya korban di ruangan tertutup oleh adanya gas berbahaya. Sebuah kisa pilu yang bisa jadi baru terulang kembali sejak Perang Dunia Kedua.
Holocaust di Kanjuruhan, begitu mereka menamainya dari kisah sejarah yang baru mereka pelajari di kelas. Entah bagaimana kita akan menyikapinya, yang jelas kejadian penembakan gas air mata disusul berdesak-desakannya ratusan orang, bahkan bisa jadi ribuan untuk menyelamatkan nyawa masing-masing adalah benar-benar terjadi. Benar terlukis nyata di stadion yang saya datangi kali ini.