Saya baru menemukan sebuah halte di depan SDN Purwantoro 1 yang berada di dekat persimpangan antara Jalan S. Parman dengan Jalan Ciliwung. Jika diukur dengan Google Map, jarak keduanya sekitar 3,8 km.Â
Sungguh bukan sebuah jarak yang ideal karena dari pengalaman saya naik feeder (angkot pengumpan) Batik Solo Trans (BST), rata-rata tiap halte atau portable memiliki jarak sekitar 500 meter saja.
Meski operasional angkot di Malang merupakan flag stop (berhenti sesuai instruksi penumpang) dan bukan set-stop (pengemudi wajib berhenti di halte), tetap saja jarak halte yang proporsional adalah kunci agar penumpang mau menggunakan transportasi umum. Â
Semakin berdekatan suatu halte semakin banyak pula calon penumpang yang tertarik untuk menggunakan kendaraan umum.
Halte di dekat SD ini amat strategis karena tepat berada di ruas utama dan persimpangan jalan (midblock). Di beberapa kota yang saya kunjungi, halte semacam ini cukup memiliki banyak penumpang karena penempatannya yang strategis. Namun, halte ini juga tak dilirik oleh penumpang walau juga sudah memiliki fasilitas paving bagi pejalan kaki.
Untunglah, saya menemukan sebuah halte kembali di Jalan S. Parman. Tepatnya, berada di seberang pusat perbelanjaan Carefour.Â
Halte ini kondisinya sangat memprihatinkan. Sebagian besar atapnya sudah copot dan kursinya sudah mulai rusak. Jika hujan, sudah pasti calon penumpang akan basah kuyup.
Fasilitas pejalan kaki pada halte ini juga bisa dikatakan tidak memadai. Posisinya tepat di trotoar jalan sehingga menghalangi pejalan kaki lain. Tidak ada ruang antara halte dengan pejalan kaki.Â
Tak hanya itu, antara halte dengan badan jalan juga dipisahkan oleh jalan berbatu. Kondisi ini cukup berbahaya terutama bagi calon penumpang lansia.