Mata yang teramati dari foto senyuman saya yang bekerja melahirkan bentuk kaki gagak. Berupa kerutan yang khas menyerupai kaki gagak di bagian ujung mata. Senyum ini biasanya akan keluar saat harus memasang wajah bahagia padahal di dalam hati sedang kalut, cemas, atau perasaan tidak enak lain.
Beberapa foto di tempat kerja cukup jelas memperlihatkan saat saya tersenyum memaksa semacam ini. Salah satunya adalah ketika momen foto bersama Kepala Sekolah dan para guru lainnya di lapangan upcara. Ekspresi wajah saya tampak jelas jika sedang memperlihatkan fake smile.
Senyum palsu itu saya buat lantaran saat kondisi cuaca yang amat panas, saya harus tetap berfoto demi pembuatan kalender sekolah. Di saat yang sama, kelas saya sedang berlangsung, murid-murid saya -- dan murid kelas lainnya -- banyak yang keluar karena pelajaran sedang berlangsung. Meski hanya beberapa menit, tentu saja mengelurkan senyum di dalam tekanan tidaklah mudah.
Senyum palsu yang tergambar dalam foto tersebut jauh berbeda saat saya melakukan wisuda bersama teman-teman kuliah atau sedang menunggu jam kosong kuliah. Tak ada beban lain yang timbul saat itu yang ada hanyalah kebahagiaan merekam momen bersama teman sembari mengisi waktu. Tak ada kerutan kaki gagak dan terlihat mata saya yang mulai menyipit.
Perbedaan senyum tulus dan senyum palsu ini memang tidak bisa dijadikan patokan langsung dalam mengidentifikasi foto lama yang kerap saya unggah. Yang pasti, dari perbedaan jenis senyum yang teramati tersebut, saya hanya bisa menyimpulkan bahwa beban hidup ketika sekolah atau kuliah tidaklah sebesar saat bekerja.
Saya hanya berfokus pada belajar dan mengumpulkan tugas. Meskipun belum mendapat uang dan penghasilan, nyatanya saya bahagia ketika bertemu rekan dan berfoto bersama.
Kondisi tersebut bekebalikan saat bekerja. Ada banyak sekali beban, entah dari pekerjaan, keluarga, atau lingkungan sekitar yang membuat senyuman dan tawa jarang sekali bisa muncul. Terlebih, kerutan dalam wajah semakin banyak sehingga fake smile kerap terekam dalam foto bersama.
Beban tersebut kadang berhasil sekali tertutupi oleh fake smile yang terlihat dalam foto. Saya punya teman yang pernah berniat untuk bunuh diri dan masih menyunggingkan fake smile ketika berfoto bersama di sebuah kafe.
Kami tidak menyadari bahwa saat berada bersama di kafe tersebut, sebenarnya ia tengah menyimpang beban pikiran yang amat berat. Satu orang rekan hanya merasa ia sedang tidak baik-baik saja ketika saat berbicara, ia menatap gelas di depan kami dengan kosong dan memainkan kunci motor.
Namun, saat akan berfoto dan kami bercanda ia tertawa. Saya tidak menyadari bahwa ia sedang menyimpan masalah yang cukup pelik terkait pernikahannya yang di ujung tanduk. Barulah, saat saya melihat foto bersama rekan -- yang semuanya pria -- di kafe tersebut, saya baru menyadari matanya yang tak menyipit dan kerutan kaki gagak yang terlihat di ujung mata. Matanya pun terlihat seperti baru saja menangis yang ia sembunyikan dengan memakai kacamata gelap hampir sepanjang pertemuan tersebut.