Dalam artian, lockdown ketat pun diberlakukan kembali. Pemerintah pun mau tak mau menggelontorkan uang lagi untuk warganya dalam bentuk Ayuda.
Demikian pula jika distribusi juga diberikan pada DSWD, maka praktik korupsi yang lebih masif juga akan terjadi. Yah, seperti yang terjadi di negara tetangga mereka yang kini entah bagaimana kelanjutannya.
Untuk itulah, skema pun dimodifikasi sedemikian rupa. DSWD tetap memberikan daftar pada LGU. Lantaran yang mengetahui kondisi warganya adalah LGU, maka LGU boleh menambah atau mengurangi data tersebut asal tetap pada pengawasan komisi audit. Nama-nama calon penerima bantuan juga masih harus diumumkan secara jelas.
LGU juga kembali berperan membantu pembayaran Ayuda tetapi tidak sebagai pengambil keputusan. Mereka akan membantu pendistribusian secara tunai bagi warga yang tidak bisa mengakses bank secara langsung. Misalkan, menyediakan tempat dan protokol kesehatan yang ketat saat pencairan bantuan. Bantuan secara tunai tetap menjadi pilihan utama saat ini karena lebih fleksibel digunakan warga yang sedang butuh biaya.
Suka atau tidak, kewenangan LGU dalam distribusi Ayuda ini juga kerap digunakan sebagai sasaran kampanye oknum pemerintah daerah.Â
Sama dengan negeri tetangga mereka yang kerap menggunakan bantuan Bansos sebagai ajang cari muka untuk melenggang di jabatan selanjutnya.
Agar penyelewengan ini tak terjadi, maka pendistribusian bantuan dilakukan oleh semacam pekerja sosial. Mereka akan memberikan informasi bahwa Ayuda bukanlah bantuan dari pemerintah daerah tetapi langsung dari pemerintah pusat yang memang menjadi hak warga akibat penguncian wilayah.
Pemerintah Filipina juga mengampanyekan gerakan Bawal ang Epal Dito. Gerakan ini merupakan gerakan bersama antara DSWD, pihak kepolisian, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam memantau pendistribusian Ayuda. Terutama, jika terjadi keterlambatan waktu pendistribusian karena keterlambatan juga merupakan salah satu bentuk korupsi.