Salah satu penyesalan saya sebelum resign menjadi wali kelas di sebuah SD Negeri adalah tidak sempatnya mengantarkan beberapa siswa saya yang merupakan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) menjalani terapi.
Ini terjadi lantaran kesibukan saya yang luar biasa sehingga ketika sang wali murid berkonsultasi seputar putra mereka yang memiliki kecenderungan sebagai ABK, saya tak bisa berbuat banyak. Selain, memberikan informasi sejelas-jelasnya mengenai perilaku mereka di kelas dan menyarankan untuk berkonsultasi kepada psikolog.
Setiap tahun, selalu ada saja ABK yang diterima oleh sekolah kami. Salah satu alasan sekolah kami tetap menerima mereka adalah tidak diperkenankannya tes -- baik tes menulis, membaca, psikologi, atau tes lainnya -- ketika penerimaan siswa baru (PPDB).Â
Seleksi hanya berdasarkan jarak rumah dan usia siswa. Dengan demikian, sekolah kami menganggap semua siswa baru yang masuk adalah siswa normal yang bisa mengikuti pembelajaran di sekolah reguler.
Ternyata, ketika beberapa minggu pembelajaran berjalan, ada beberapa diantara mereka yang merupakan ABK. Beberapa tipe ABK yang sering dijumpai adalah ADHD (Attention deficit disorder with hyperactive) dan slow learner. Siswa yang mengalami ADHD beberapa kali sempat bergulung-gulung di koridor sekolah atau bahkan lari dan keluar kelas dan menuju lapangan.
Siswa yang mengidap slow learner, biasanya akan sangat lama menerima pelajaran. Hampir tidak ada pertanyaan yang bisa dijawab ketika ujian hingga ada siswa yang sudah tidak naik kelas selama 3 tahun berturut-turut.
Siswa dengan kedua tipe ABK yang kerap ada di sekolah saya dulu sebenarnya memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan kondisi mereka. Dan pastinya, pendidikan itu sebaiknya tidak dilakukan di sekolah umum yang hanya membuka kelas untuk siswa reguler.Â
Sayangnya, memberikan guru khusus bagi mereka membutuhkan biaya banyak. Ada beberapa kelas yang terdapat siswa ABK di dalamnya. Memisahkan mereka dengan siswa lain ketika pelajaran juga bukan solusi karena sekolah saya dulu tidak ditunjuk untuk melakukan pembelajaran inklusi. Alhasil, mereka tetap terpaksa melakukan pembelajaran dengan siswa reguler lain dengan keadaan yang bagi saya cukup memprihatinkan.
Kondisi semakin parah dengan tindakan denial atau penyangkalan beberapa orangtua yang putranya mengidap beberapa tipe ABK tersebut. Mereka menganggap bahwa putranya baik-baik saja dan layak bersekolah di sekolah umum.
Bahkan, ketika beberapa guru meminta mereka untuk pergi ke psikolog, dengan terang-terangan mereka menolak. Barulah, saat ada salah seorang pengawas yang memang memiliki kepedulian di bidang pendidikan inklusi menyarankan sekolah mendata siswa ABK untuk bersama-sama berkonsultasi, mereka pun menyetujui.