Untuk menu yang masih digoreng, kadang konsumen harus menunggu cukup lama, sekitar lebih dari 20 menit.Â
Sedikit membandingkan dengan restoran cepat saji yang sudah berjaringan besar, konsumen tak sampai 5 menit menunggu di kasir.Â
Jika cukup lama dan saat pandemi semacam ini, konsumen biasanya dipersilakan menunggu di tempat makan atau tempat yang sudah disediakan untuk take away.
Tidak hanya itu, kadang restoran cepat saji yang sepi dan akhirnya bangkrut kurang memerhatikan kenyamanan konsumen ketika makan.Â
Contohnya, saya pernah menyantap menu rice box di sebuah restoran cepat saji. Saya kira, menu ini mirip dengan menu sebuah restoran cepat saji berjaringan besar yang memuat daging ayam cincang atau potongan ayam fillet.
Menu yang saya dapat ternyata potongan ayam cukup besar yang dimasukkan begitu saja di dalam sebuah rice box. Meski harga yang dijual sangat murah yakni 12 ribu rupiah beserta minum, tetapi saya berpikir dan bertanya, "Bagaimana cara memakan menu ini dengan nyaman?"
Restoran tersebut hanya menyediakan sendok plastik sebagai alat makan. Tentu, sendok tersebut cukup sulit digunakan untuk memotong daging ayam berukuran cukup besar di dalam wadah rice box.Â
Lantaran saya sudah mulai frustasi, maka akhirnya saya meminta piring ke petugas restoran dan makan seperti menu ayam pada umumnya. Kalau begini, apa fungsi dari rice box tersebut?
Apa yang dialami restoran tersebut berbanding terbalik dengan restoran lain yang mengutamakan rasa, harga, dan kenyamanan konsumen.Â
Di Jogja, ada sebuah restoran cepat saji yang begitu dikagumi dan sudah menjadi brand kota tersebut karena harganya yang murah dan rasanya yang enak.Â