Dulu, ketika saya belajar mengenai topik ini di sekolah, saya selalu mendapatkan persepsi bahwa candi bergaya Jawa Tengahan memiliki bentuk yang gemuk dan pendek sedangkan candi bergaya Jawa Timuran memiliki bentuk yang sebaliknya.
Ternyata, perbedaan itu tidaklah saklek demikian. Meski, pola pada umumnya seperti itu. Ada beberapa candi di Jawa Timur yang bahkan memiliki bentuk gaya Jawa Tengahan. Candi Badut misalnya.Â
Bahkan, ada candi yang merupakan peralihan dari gaya Jawa Tengahan menuju gaya Jawa Timuran. Dari yang gemuk dan pendek menjadi ramping dan tinggi. Candi Kidal adalah contohnya.
Selain itu, belajar mengenai peripih atau benda yang ditanam di dalam candi juga tidak boleh dilewatkan. Peripih yang bisa berupa koin, tanaman, atau tulang bisa menjadi pertanda alasan suatu candi dibuat.Â
Untuk penghormatan kepada dewa atau sebagai lambang kesuburan. Dari perpipih tersebut juga bisa diambil informasi alasan di tempat tersebut dibangun sebuah candi.
Dalam kunjungan ke sebuah candi, saya sempat bertemu dengan seorang ibu dan anaknya yang berusia TK dan SD berkeliling candi. Sang anak terus bertanya mengenai bangunan candi.Â
Mengapa ada kepala yang mengerikan di bagian atasnya, mengapa batunya berwarna merah kecoklatan, mengapa ada gambar singa di temboknya, dan beberapa pertanyaan menarik lainnya.Â
Sayangnya, sang ibu tidak menjawab dengan baik pertanyaan dari sang anak dan terus mengajak mereka berfoto. Sedangkan, informasi tersebut sebetulnya sudah ada pada papan pengumuman.
Mungkin saja, jika informasi dibuat lebih menarik seperti pada Candi Borobudur dan Candi Prambanan, maka kemungkinan akan  lebih dibaca oleh pengunjung. Tetapi, tentu hal ini sulit dilakukan karena banyak candi yang tidak mematok tarif masuk sebanyak dua candi tersebut. Bahkan, beberapa candi hanya menyaratkan pengunjung untuk mengisi buku tamu.Â
Atas alasan ini, peran dari penjaga candi sangat diperlukan semisal mengarahkan pengunjung untuk membaca informasi seputar candi dan apa saja yang tidak boleh dilakukan.Â