Lebaran kali ini memang beda.Â
Selain terbatas beranjangsana ke saudara atau tetangga, tidak terlaksananya kegiatan tersebut juga menyebabkan sebuah tradisi lama tidak dilakukan dengan sebagaimana mestinya. Apalagi kalau bukan pertanyaan seputar "Kapan Nikah" dan sederet pertanyaan lain seputar hidup.
Pertanyaan yang kerap menjadi momok bagi jejaka atau perawan yang sebenarnya sudah memasuki masa menikah dan melahirkan keturunan. Pada lebaran kali ini, pertanyaan tersebut seakan tergerus oleh pertanyaan seputar covid-19 yang begitu mewabah hingga ke pelosok negeri.
Sebenarnya, tidak mendapat pertanyaan semacam itu amaltlah menyenangkan. Ada topik lain yang bisa dibahas dan menjadikan anjangsana, terutama yang melalui online menjadi lebih semarak.Â
Saking senangnya bisa bersua lewat aplikasi ponsel, kadang pembicaraan malah seputar kapan kira-kira wabah ini bisa berakhir sehingga rencana untuk sekadar bertemu bisa segera terlaksana.
Meski demikian, ada hal yang hilang ketika pertanyaan seputar kapan nikah itu tidak diajukan. Tak lain adalah momen mendoakan bagi yang belum menikah.
Walau pertanyaan ini seakan menohok tepat di sanubari, ternyata jika diresapi lebih dalam maknanya, di balik pertanyaan itu tersimpan doa mujarab mengenai jodoh. Ini tak lepas dari doa-doa kerabat yang hinggap selepas mereka menanyakan kapan saya akan menikah.
Dengan bertambahnya usia, saya mencoba untuk tidak baper alias terlalu terbawa perasaan jika ada menanyakan hal demikian. Daripada saya ditanya kapan khitan atau kapan meninggal kan jauh lebih baik jika ditanya kapan saya menikah.
Ketika ditanya hal tersebut -- kapan menikah -- dengan refleks akan saya jawab mohon doanya saja, calonnya sudah ada. Memang begitu kenyataannya lantaran saya tidak bisa memastikan kapan tanggal pernikahan tersebut berlangsung terutama di tengah pandemi seperti ini.
Kalau pun masih ditanya lagi kapan persisnya dan kenapa kok tidak disegerakan, saya hanya tinggal menjawab sudah semaksimal mungkin berusaha tinggal dari yang di atas menentukan.Â
Makanya, dengan senyum semanis Puteri Indonesia Pariwisata, saya akan kembali meminta doa agar semua bisa terlaksana dengan baik. Ditambah, sedikit paparan mengenai pernikahan bukanlah ajang adu balap tetapi memang ada banyak hal yang benar-benar dipersiapkan.
Saya yakin jika menjawab pertanyaan seperti ini dengan lebih diplomatis, maka si penanya akan juga lebih respect dan mendoakan yang baik-baik.
Tidak perlu nggrundel alias marah-marah yang tidak jelas. Toh pertanyaan yang mereka lemparkan bisa jadi adalah kepedulian terhadap kita walau kadang diiringi dengan bumbu nada suara yang cukup menohok.
Makanya, doa dari mereka yang menanyakan kapan menikah menjadi hal yang hilang pada lebaran kali ini. Selain itu, cerita sharing mengenai pernikahan dan kehidupan rumah tangga menjadi hal yang tak bisa didapat.
Jika sebelumnya pertanyaan kapan menikah akan disertai sedikit cerita dari mereka yang sudah menikah dan bagaimana mengelola pernikahan agar tetap langgeng, maka kali ini momen seperti itu tidak bisa saya dapatkan. Alasannya ya kembali kepada ajang silaturahmi yang terbatas pada kali ini.
Saya senang lho mendapat sedikit cerita pengalaman dari ayah-ayah muda bagaimana mereka tetap bisa bertahan di tengah kondisi ekonomi yang tidak terlalu baik. Bagaimana mereka bisa berjuang dari bawah untuk tetap survive menghidupi keluarganya sehari-hari.
Pengalaman remeh temeh dari mereka amatlah penting. Saya kerap mendapatkan pelajaran berharga mengenai bagaimana mereka (para ayah muda) bisa mengambil peluang, entah dalam hal pekerjaan atau pun mengelola keuangan.
Pengalaman ini penting bagi saya yang kerap memiliki rasa pesimis mengenai kemampuan untuk bisa menafkahi keluarga selepas menikah nanti. Pandangan mereka sangat berharga terutama megenai konsep rezeki yang bisa saja diraih dengan ketekunan dan doa.
Pertanyaan kapan menikah yang terkesan menohok di hati juga kadang bermuara pada hal ini. Padahal, jika sudah dilakukan, asal benar-benar komitmen untuk bertanggung jawab semuanya akan terasa ringan.
Tak melulu masalah finansial semacam ini, bagaimana mereka mengelola emosi saat berumah tangga menjadi cerita yang hilang saat lebaran kali ini. Biasanya, ada saja pasangan suami istri yang datang bertamu di rumah bercerita sedikit bagaimana mereka menjaga mood terutama dalam merawat anak.Â
Ini juga penting lho bagi jejaka atau perawan yang belum menikah karena kerja sama dan koordinasi antara suami dan istri sangatlah diperlukan. Yang terpenting, bagaimana menjaga mood saat sama-sama capai karena bekerja atau pun selepas mengurus rumah tangga.
Sharing pengalaman yang dirasakan oleh para pasutri ini memang menjadi warna tersendiri yang saya tunggu selepas mereka menanyakan kapan menikah.Â
Untuk itu, agar suasana lebih cair dan saya tidak menjadi obyek penghakiman karena tak segera menikah, selain meminta doa, biasanya saya meminta mereka untuk sharing pengalaman seputar pernikahan. Simpel dan agar hati saya tidak terlalu baper dengan pertanyaan tersebut.
Untunglah, dari berbagai pertanyaan yang menghujam saya, banyak diantara penanya yang malah bersenang hati menceritakan pengalamannya. Kalau pun mereka tidak mau bercerita, bisa saja ada masalah di dalam rumah tangganya.Â
Namun, saya selalu mendapatkan cerita asyik kok dari mereka yang sudah menikah, baik yang baru atau lama. Meski demikian, bukan bermaksud mengulik dengan detail, yang terpenting agar pertanyaan kapan menikah tidak benar-benar menjadi obyek pembicaraan nirmakna dari awal hingga akhir pertemuan.
Memang, dengan pandemi covid-19 ini ada hikmahnya. Tak banyak sanak saudrara yang bertanya kapan nikah. Tak banyak omongan nyinyir mengenai masalah ini.
Hanya saja, kalau ada banyak hal baik yang menyertai pertayaan kapan nikah tidak bisa diterima saat ini, rasanya kok ada yang kurang ya. Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H