“Hilal telah tampak. Aku sudah menunggu kemunculannya sedari kemarin,” Sena begitu sumringah berlari ke serambi depan rumahnya.
Ayahnya masih sibuk meraut obor yang sedianya digunakan untuk malam takbiran nanti. Mengamati sejenak putranya yang duduk di bangku kelas 2 SD itu, ia mengernyitkan kepalanya.
“Darimana kau tahu hilal sudah tampak?”
Sena menunjukkan sepuluh jarinya yang kecil,”Ini sudah hari kedua puluh sembilan, Yah. Ia akan datang di hari dua puluh sembilan atau tiga puluh. Ustad Fatih yang bilang begitu”.
Arman terpaku melihat putranya. Iya, ini sudah mendekati Idulfitri. Sudah saatnya Asih memberi kabar kepulangannya.
“Kita tunggu berita ya, Nak,” ujarnya lirih.
Sena masih berlari kecil menuju kamar mandi. Ia sudah bersiap untuk mandi dan berganti pakaian. Tak lama lagi, ia akan berjumpa dengan sang ibunda yang telah lama merantau di negeri orang. Baginya, kenampakan hilal adalah pertanda bahwa ia akan berjumpa dengan sosok yang dikangeninya.
“Ayah, kalau hilal tak juga tampak. Apa ia akan mundur sehari lagi?”
Ayahnya hanya tersenyum tipis, "Mandilah. Segeralah ke surau".
Sena masih saja bertanya. Ia benar-benar memastikan bahwa kedatangan ibunya memang pada hari itu. Ia teringat omongan Fajar tempo hari bahwa bisa saja hilal tak tampak. Kata kakaknya, hilal bersembunyi di balik awan.
Sena masih ragu. Tak ada awan yang menaungi langit sepanjang hari itu. Jadi, untuk apa hilal bersembunyi? Apakah ia takut pada orang-orang yang menantikan kehadirannya?