Dua orang mahasiswi bolak-balik menghubungi entah siapa di sebuah warung makan lesehan di Sleman Jogja, pertengahan puasa tahun lalu. Waktu berbuka sudah hampir tiba dan pelayan warung makan tersebut terus menghantarkan makanan piring demi piring di atas meja makan.
Saya melihat ia tampak gugup karena ternyata dari sekian banyak rekan yang akan buka bersama bersama keduanya, tidak lebih dari sepuluh orang yang hadir. Padahal, kapasitas tempat makan bersama itu sekitar 25 orang. Atau, tak sampai separuh dari anggota buka bersama yang hadir.
Bersamaan dengan itu, saya membaca beberapa utasan di Twitter mengenai orang-orang yang harus menelan kekecewaan karena buka bersama yang dihadirinya tidak banyak yang datang. Yang membuat miris, makanan sudah tersaji dan akhirnya bingung untuk diapakan. Pastinya, bingung siapa yang akan membayar makanan sebanyak itu.
Pengalaman pribadi, saya pernah mengadakan acara makan bersama bersama teman lama yang diawali dengan berderma di sebuah panti asuhan. Rekan-rekan sudah menyusun rencana dan kami semua sepakat akan buka bersama di salah seorang teman. Kebetulan, ibu teman saya tersebut bersedia memasak untuk kami semua.
Eh, saat hari-H, satu per satu teman yang awalnya berniat hadir membatalkan acara begitu saja. Terutama, yang berasal dari luar kota. Yang datang pun ya yang dari dalam kota saja. Ya loe lagi loe lagi. Dalam hati saya sangat menyesal terutama saat melihat aneka masakan yang sudah dihidangkan oleh teman saya. Namun ya bagaimana lagi.
Berbagai kejadian tak mengenakkan mengenai buka bersama itu selayaknya jadi pelajaran terutama pada musim pandemi korona ini. Saat acara kumpul-kumpul bersama sangat mahal harganya dan tidak mungkin dilakukan. Ini menjadi waktu yang tepat untuk instropeksi diri bagi mereka yang senang membuat acara buka bersama hanya sekadar wacana.
Buka bersama yang maksud sebenarnya baik untuk menjalin silaturahmi malah dapat membuat tali silaturahmi itu putus. Bagi sebagian orang, tidak mudah untuk menerima mereka yang gampang sekali membatalkan janji. Padahal, janji adalah hutang yang harus dipenuhi.
Memang, ada kalanya kita sibuk dengan pekerjaan kita dan berbagai permasalahannya. Dalam hati kecil, untuk meredakan ketegangan itu, buka bersama adalah salah satu solusi. Tetapi, dengan melihat penatnya pekerjaan, sudah sepantasnya kita bisa memperkirakan waktu luang kita dengan baik. Jika memang tidak bisa hadir ya lebih baik berkata tidak. Atau, bisa menjadi 50:50 dan memberikan janji untuk memberi kabar sebelum buka puasa bersama dilakukan.
Kita tidak tahu apakah yang mengorganisasi buka bersama benar-benar memiliki waktu atau uang. Kadang, mereka berkorban waktu dan uang untuk mengadakan acara itu dengan harapan ada banyak temannya yang datang. Kalau melihat pengorbanan mereka dalam mencari tempat dan meluangkan waktu dan ada banyak anggota yang tidak hadir, rasanya kok zalil sekali.
Ada adagium pula buka bersama akan menjadi wacana bagi para pelemparnya. Tidak akan tindakan lanjut dari sang pelempar wacana itu. Malah, anggota pertemanan lain yang secara aktif mengadakan kegiatan ini. Sementara, hingga akhir puasa, sang pelempar wacana entah hilang ke mana. Ini tentu banyak sekali dialami oleh banyak orang. Saat awal puasa, suara "Ayo bukber" menyeruak.
Corona mengubah segalanya. Kegiatan buka bersama menjadi kegiatan yang terlarang dilakukan. Entah sampai kapan, untuk tahun ini wacana buka bersama akan menjadi utopia. Namun, di balik itu, ada hikmah pula yang bisa diambil.