Pengajuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Kota Malang ditolak oleh Kementian Kesehatan. Kota Malang belum dianggap perlu untuk melakukan PSBB lantaran tidak memenuhi  Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Malang pun tidak bisa melakukan berbagai upaya dalam mencegah penyakit ini dengan cara PSBB seperti yang akan dilakukan tetangganya Surabaya.
Penolakan ini memang wajar. Kota Malang dianggap tergesa-gesa dalam menyampaikan draft usulan PSBB kepada Pemerintah Pusat dengan tidak mengindahkan dua daerah lainnya yang masih dalam satu himpunan Malang Raya, yakni Kabupaten Malang dan Kota Batu.Â
Jumlah kasus covid-19 yang cukup rendah di Kota Malang bisa menjadi salah satu alasan penolakan ini karena salah satu parameter diberlakukannya PSBB adalah adanya kenaikan jumlah penderita covid-19 dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat. Dari 8 kasus positif covid-19, sebanyak 7 diantaranya sudah dinyatakan sembuh hingga Selasa (21/04/2020) ini. Artinya, hanya ada 1 pasien positif yang menjalani perawatan.
Namun, jumlah kasus positif covid-19 yang rendah ini bukan jaminan Malang akan aman saja. Ini terbukti dari jumlah pasien dalam pengawasan di kota malah meningkat drastis dalam beberapa hari terakhir dengan lima kematian. Indikasi ini tak lantas pula Malang menjadikan harus tergesa mengajukan PSBB tanpa memperhatikan aspek lainnya. Ada banyak hal yang bisa dilakukan Pemkot Malang agar bisa mengendalikan penyakit ini secara efektif dan efisien. Beberapa diantaranya bisa berkaca dari sejarah bagaimana kota ini menerapkan karantina wilayah akibat wabah pes pada masa kolonial.
Pelajaran pertama adalah mengenai usaha sosialisasi yang kurang efektif. Pada wabah pes yang bermula tahun 1911, banyak orang yang masih belum bisa membaca pengumuman dari pemerintah akan bahaya dan ajakan untuk mematuhi aturan isolasi wilayah yang dilakukan. Beberapa kaum terpelajar bahkan harus membacakan keras-keras pengumuman mengenai wabah pes agar masyarakat Malang yang sudah mulai bertumbangan saat itu sadar untuk menjaga kesehatan dan tidak memasuki wilayah tertentu yang telah terjangkit pes.
Pemerintah kolonial bahkan telah mengumumkan desa-desa mana yang telah terjangkit pes. Pengumuman ini cukup gamblang agar wilayah tersebut bisa secara tegas melakukan karantina wilayah sehingga wabah tidak menyebar dan proses penyembuhan pasien yang melakukan isolasi atau dirawat secara mandiri bisa berhasil.
Sayang seribu sayang, upaya sosialisasi ini belumlah efektif saat pandemi covid-19. Imbauan mengenai pembatasan fisik dan sosial memang setiap hari diunggah akun Instagram Pemerintah Kota Malang. Namun, informasi mengenai daerah mana saja yang sudah benar-benar merah tidak tertera.Â
Hanya informasi singkat mengenai jumlah PDP, ODP, ODR, dan pasien positif yang dibagikan. Masyarakat pun hanya mendapat jumlah mentah. Banyak diantara mereka yang hanya terpacu pada jumlah pasien yang sembuh sehingga mengentengkan akan bahaya penyakit ini. Jalanan pun kembali ramai.
Pelajaran kedua, bagaimana sosialisasi kepada mereka yang baru datang dari luar kota. Beberapa hari yang lalu saya mencak-mencak saat ayah saya bertemu saudara yang baru datang dari Kediri. Ia tanpa melapor ke petugas kesehatan walau tidak menunjukkan risiko. Ia tidak tahu ke mana harus melapor dan bagaimana dampak dan akibat jika tidak melapor. Dengan sedikit paksaan, akhirnya ia pun mau melapor ke puskesmas dan menjalani karantina mandiri selama 14 hari.
Kejadian ini juga tak urung mengingatkan kita pada kebijakan keras Burgerlijk Geneeskundige Dienst (BGD). Dinas pembuat kebijakan isolasi ini tak segan memberikan sanksi tegas dan keras bagi siapa saja yang masuk atau keluar Kota Malang seenaknya setelah isolasi total pada 1912 dilakukan. Walau hal ini tak bisa dilakukan sekarang, sosialiasi dan peringatan terhadap para pendatang juga harus dilakukan.
Apalagi, masih banyak warga Malang yang berencana akan masuk ke Malang bingung bagaiamana dan apa yang harus mereka lakukan. Mereka sebenarnya juga ada yang sadar untuk melakukan isolasi mandiri. Tapi di mana dan bagaimana caranya, Pemkot Malang belum memberikan sosialisasi yang jelas. Dari FP Komunitas lokal, masih banyak yang bertanya akan hal ini.
Pelajaran ketiga, penggunaan anggaran yang digunakan  Pemkot Malang juga harus belajar dari apa yang dilakukan pemerintah kolonial saat pandemi pes. Pemerintah kolonial membangun Kampung Kayutangan dalam proyek penataan kota.Â
Di kampung yang kini menjadi salah satu kampung tematik wisata Kota Malang itu, pemerintah membangun jalur-jalur sungai dengan bentukan baru dan juga semacam saluran air di mulut gang seperti sebuah kamar. Saluran ini akan mengontrol debit air sehingga pengendalian habitat tikus bisa ditangani.
Mirisnya, di tengah pandemi ini, Pemkot Malang malah sempat melakukan peletakan batu pertama gedung bersama Pemkot Malang. Sontak, kegiatan ini langsung dipaido -- dihujat -- oleh warga Malang karena sangat tidak tepat. Kalau saja hujatan itu tidak bertubi-tubi dari segenap lapisan masyarakat, bisa jadi pembangunan ini terus berlangsung. Akhirnya, Pemkot Malang pun membatalkan pembangunan yang menelan dana sekitar 45,4 miliar rupiah tersebut.
Dana yang banyak tersebut bisa dialihkan untuk upaya pencegahan covid-19 secara lebih masif. Semisal tentang perbanyakan tempat cuci tangan hingga melakukan upaya sterilisasi di dalam kampung-kampung serta fasilitas umum lainnya.
Pembelajaran terkahir adalah keseriusan dalam usaha menerjunkan tim medis terkait wabah yang tengah berlangsung. Pemerintah kolonial meminta mahasiswa-mahasiswa STOVIA untuk terjun langsung ke Kota Malang setelah banyak dokter Belanda yang tidak berani datang ke kota ini akibat wabah yang semakin mengerikan.
Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo adalah salah satu dokter muda yang terjun langsung ke Malang pada tahun 1911. Beliau tanpa rasa takut datang ke kota ini untuk menyisir wilayah Kota Malang dengan konsentrasi penderita wabah pes yang tinggi.Â
Beliau juga mengkritik kebijakan pemerintah kolonial Belanda mengenai keterbatasan APD dan adanya pengucilan masyarakat yang terkena penyakit pes. Melalui tulisannya yang berjudul De Pest op Java en Hare Bestrijding, kisahnya saat berjuang di Kota Malang melawan wabah pes dipaparkan dengan lengkap.
Melawan stigma masyarakat terhadap mereka yang terjangkit penyakit juga menjadi pekerjaan rumah. Masih banyak warga Malang yang memiliki stigma buruk terhadap mereka yang tidak saja positif menderita covid-19 tetapi yang masih berstatus ODP dan PDP.
Dari kisah yang ditulis oleh Dokter Cipto yang kini namanya menjadi salah satu nama jalan di Kota Malang, Pemkot Malang sebenarnya harus mau belajar banyak.Â
Tak hanya Pemkot Malang, masyarakat Kota Malang juga harus yakin dengan pola hidup sehat dan pembatasan kegiatan yang sesuai dengan keadaan saat ini, wabah ini akan bisa diatasi. Keberhasilan Kota Malang yang bisa kembali normal setelah pagebluk pes dan menjadi salah satu wilayah di Indonesia yang menerapkan karantina wilayah harus terus diambil spiritnya.
Spirit untuk tidak tergesa-gesa mengambil kebijakan, memperhatikan kondisi di lapangan serta keberhasilan mengatasi wabah adalah kegiatan yang membutuhkan usaha konsistensi jangka panjang. Tentu, dengan aneka kegagalan yang mengiringinya terlebih dahulu.
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H