Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kuingin ke Sendiki Lagi

9 April 2020   07:00 Diperbarui: 9 April 2020   09:56 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Entah kapan musim corona ini akan berakhir. Bisa minggu depan, bulan depan, atau entah kapan. Berbagai ahli pun banyak yang meramalkan. Namun, kepastian itu tak bisa ditebak dengan tepat hingga sekarang. Padahal, dalam hati kecil rasanya ingin sekali mulai menjelajah alam.

Beberapa hari yang lalu, ada sebuah utasan di media sosial Twitter, akan jalan-jalan ke mana jika pandemi akan berakhir. Tentu, saya akan langsung menjawab ingin sekali pergi ke pantai. Menikmati hangatnya mentari dan ditemani suara desiran ombak adalah impian.

Lantas, pantai mana yang ingin dikunjungi?

Pantai Sendiki adalah jawabannya. Ini bermula saat saya menjelajahi pantai selatan Malang beberapa tahun yang lalu. Saya memulainya dari pantai ini. Berangkat pagi buta dari Kota Malang, saya tiba di yang berada di Tambakrejo Sumbermanjing Wetan ini sekitar jam 8 pagi. Masih sunyi dan tak banyak insan berkamera yang datang.

Rekan saya segera memarkir motornya di tempat yang disediakan. Tentu, kami langsung membayar harga tiket parkir sebesar 5.000 rupiah. Ditambah tiket masuk sebesar 10.000 rupiah, kami pun memutuskan untuk segera memulai petualangan ini. Yang ternyata, diawali dengan menuruni anak tangga menuju bibir pantai.

Anak tangga ini memandu kami menuruni bukit kapur yang menjadi bentang alam khas di Malang Selatan. Derap langkah kami semakin terlihat bersemangat kala bibir pantai dengan warna biru air laut sudah terlihat. Ingin rasanya kami segera mencicipi desiran ombak itu dari dekat.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Namun, rekan saya memutuskan untuk berganti kostum dulu. Bukan kostum superhero, melainkan kostum yang lebih beach-able, alias lebih mudah digunakan untuk menyusuri pantai. Berupa celana pendek dan sandal jepit. Tak lupa kacamata hitam dan topi menjadi hal yang tak boleh dilewatkan. Jangan lupakan pula tabir surya secukupnya harus dioleskan ke bagian tangan agar kulit tak terbakar. Terlebih, kami sudah berniat mengambil banyak foto layaknya pemotretan Miss Grand International.

Dengan kostum yang sudah beach-able, kami berlari menuju bibir pantai. Baru saja kaki kami akan merasakan deburan ombak, tiba-tiba saja

Priiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit

Sebuah suara peluit terdengar nyaring memekakkan telinga. Seorang penjaga pantai dengan bendera merah di tangannya terlihat membentangkan bendera itu. Kami dilarang mendekati garis pantai. Maka, saya pun mengajak rekan saya untuk menjauh dan memilih untuk berada di bibir pantai yang terhalang karang.

Alasan penjaga pantai melarang kami memang tepat. Ombak pantai ini sangat ganas. Salah satu bagian sandal jepit saya yang mulanya anggun hinggap di kedua kaki tetiba terseret ombak saat saya tak sengaja terjatuh. Dalam sekejap, sandal itu lenyap. Rekan saya langsung berinisiatif mengambil tapi saya larang.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Walau beberapa detik kemudian sandal berwarna biru itu terlihat kembali, nyatanya ia kembali lenyap tergulung ombak. Muncul lenyap hingga akhirnya benar-benar lenyap. Barangkali, ia sudah terbawa arus Samudra Hindia dan akan ditemukan oleh penjaga Pulau Chrismast atau bahkan pengunjung pantai di Australia. Ah entahlah. Yang jelas saya bergidik melihat ganasnya ombak yang menggulung sandal jepit saya.

Kini, saya hanya mengenakan satu buah sandal jepit di bagian kiri. Lantaran terasa unfaedah, maka saya pun melarung sandal saya yang masih tersisa itu dan memilih tidak beralaskan kaki. Dengan tertatih-tatih, saya pun akhirnya tiba di bagian bibir pantai yang lain.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Rupanya, di sana sudah ramai oleh anak-anak seusia SMA yang bermain sepak bola. Walau ombaknya ganas, tetapi pantai ini memiliki bibir pantai yang luas. Pasir halus yang membungkusnya membuat pantai ini bisa digunakan untuk berbagai kegiatan. Kemah, bermain voli, atau bahkan panggung kontes kecantikan. Dibandingkan pantai-pantai selatan di Malang yang lain saya rasa bibir pantai ini yang terluas.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Makanya, pengelola pantai ini menyediakan semacam camping area yang bisa digunakan siapa saja yang ingin bermalam. Wah, seru juga ya. Namun, saya masih ingin menjelajah pantai yang lain. Jadi, mungkin lain waktu dan setelah corona mereda ini pengalaman itu akan saya coba. Jadi, saya memilih bermain ayunan yang dipasang di sebuah pohon besar.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Lantaran masih cukup sepi dan tidak ada pengunjung lain, maka saya pun mengayunkan tubuh saya yang tambun. Sambil memandang birunya air laut dan menikmati sepoi angin yang berembus, sungguh surga dunia bisa saya rasakan. Suara jangkrik yang menandakan musim kemarau tiba menambah syahdu suasana. Kalau diteruskan, bisa-bisa saya ketiduran.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Rekan saya pun mengajak saya mencuci kaki dan segera cabut. Butuh tenaga ekstra untuk kembali ke parkiran karena kami harus menaiki puluhan anak tangga. Walau agak berat untuk menyudahi perjalanan ini, tetapi saya puas bisa datang ke salah satu pantai terbaik di Malang ini. Yang harus dikunjungi jika pandemi mengerikan ini berakhir.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun