Ibarat terkena awu panas alias abu panas, warga Kota Blitar mendapat hal tidak mengenakkan pada Selasa, 18/09/2020 kemarin. Pasalnya, kota mereka tercinta yang biasanya adem ayem berubah menjadi membara.Â
Apesnya lagi, kerusuhan yang terjadi di kota mereka bukan disebabkan oleh warga mereka sendiri, melainkan oleh dua oknum suporter bola dari dua kota tetangga mereka, Malang dan Surabaya.
Ya, tensi derbi Jatim pada laga semifinal Piala Gubernur Jawa Timur memang berpindah ke Blitar karena Stadion Supriyadi yang ada di kota ini digunakan untuk laga tersebut. Beberapa sepeda motor dibakar dan beberapa bangunan dirusak. Suasana tak tenang dirasakan oleh warga Blitar.
"Yang main bola siapa yang kena rusuhnya siapa?"
Itulah petikan pesan WA dari seorang rekan saya yang kebetulan tinggal di Kota Blitar. Ia tak menyangka, kota kecilnya yang sebenarnya jauh dari hiruk pikuk kegaduhan sepak bola di negeri ini menjadi ikut membara.Â
Ia pun merasa takut untuk bepergian di pertengahan hari kemarin lantaran dua oknum suporter, Aremania dan Bonekmania dengan ganas saling beradu kata kasar hingga lemparan batu.
Rekan saya juga menyayangkan mengapa pertandingan yang seharusnya tanpa melibatkan penonton tetapi masih bisa didatangi oleh penonton.
Yang menbuat dia juga semakin tak habis pikir, mengapa laga tanpa penonton ini digelar di sebuah kota yang masih bisa dijangkau oleh kedua kelompok suporter.
Blitar terletak tak jauh dari Malang dan Surabaya yang bisa dijangkau dengan bus dan kereta api. Makanya, dengan peristiwa ini, banyak pihak yang menyayangkan jika derbi dua tim jatim ini digelar di kota lain, kok masih ada supporter yang datang.Â
Tentu, alasan mereka datang untuk mendukung tim kesayangannya. Memang laga yang  digelar tanpa penonton, rasanya belum afdol jika tidak ikut bersorak di sekitar stadion.
Satu hal lagi yang menjadi titik perhatian adalah meski dua kesebelasan yang bertanding berasal dari dua kota tetangga di Blitar, tetapi nyatanya kelompok suporter yang hadir malah banyak yang berasal dari sekitar Blitar. Tulungagung, Kanigoro, dan sekitarnya.Â
Ini seperti yang diungkapkan Kapolresta Blitar, AKBP Leonard M Sinambela. Menurut Bapak Kapolres, jumlah suporter yang hadir diperkirakan mencapai 2.000 orang. Jumlah yang tidak main-main untuk sebuah laga tanpa penonton.
Kejadian bentrokan ini dan datangnya massa yang cukup banyak bisa dipahami lantaran banyak kota di Jawa Timur sebenarnya menjadi irisan pendukung kedua kesebelasan. Blitar, Tulungagung, Pasuruan, dan beberapa kota lain yang  tidak memiliki tim yang berlaga di liga satu memiliki suporter fanatik antara dua kesebelasan itu. Ada beberapa wilayah di Blitar yang dekat dengan Malang cenderung mendukung kesebelasan Arema.
Ketika saya naik kereta api dari Malang menuju Blitar, banyak atribut Arema yang berseliweran di perbatasan du kota itu. Tak hanya itu, umpatan kepada Persebaya dan Bonekmania juga tak kalah banyak memenuhi dinding rumah saat kereta saya lewat.Â
Pun demikian, saat saya melewati daerah Blitar yang dekat dengan Tulungagung, dukungan kepada Persebaya pun tak kalah banyak. Umpatan kepada Arema dan Aremania juga banyak berseliweran meski tak sebanyak di Surabaya sendiri.
Bisa jadi, meski laga digelar di tempat netral seperti di Blitar, kedua kelompok suporter ini akan dengan mudah bertemu. Tempat netral tidak menjamin kondisi masyarakat pencinta bola di sana juga ikut netral.Â
Akibatnya, gesekan antara dua kelompok suporter tidak bisa terleakkan. Kerusakan pun akhirnya terjadi dan masyarakat Blitar pun harus menanggung rugi.
Untuk itu, dalam laga-laga derbi dua jatim ini selanjutnya, sudah seyogyanya pihak terkait mempertimbangkan mengenai tempat netral ini. Kalaupun terpaksa, pencegahan terhadap gesekan dua massa ini harus dilakukan meski pada kenyataannya memang sangat sulit.Â
Tak hanya itu, kini banyak kelompok suporter yang sudah memiliki koordinator wilayah (korwil) tidak hanya di dalam kota namun juga di luar kota.
Korwil inilah yang semestinya bisa berperan lebih aktif mencegah anggota kelompoknya untuk ikut datang ke stadion saat laga tanpa penonton digelar. Mereka bisa mengalihkan dengan menonton bersama di sebuah tempat yang nyaman.
Lagi dan lagi, memaksimalkan peran korwil ini cukup sulit karena ada saja oknum anggota suporter yang membandel.
Contohnya, ada saja oknum Aremania yang melakukan sweeping terhadap kendaraan plat L dengan tindakan yang kurang baik padahal semua elemen Aremania sudah sangat tegas melarang.Â
Demikian pula saat ada saja oknum Bonekmania yang keras kepala datang ke pertandingan yang tanpa penonton, ini juga menandakan masih ada saja yang mbalelo. Podo wae.
Entah sampai kapan perseteruan yang kerap memakan korban ini akan berakhir. Padahal, sekarang sudah ada usaha untuk tidak memupuk kebencian itu sejak dini.Â
Di Malang sendiri, sudah mulai ada gerakan untuk tidak mengajari anak kecil mengumpat dan mengolok-olok tim Persebaya dan Bonekmania. Usaha ini akan lebih berhasil jika didukung upaya yang berkelanjutan dari mereka yang sudah dewasa.
Barangkali, rasa saling membutuhkan yang akan membuat kedua kelompok supporter bola ini bisa akur. Bonekmania saja bisa akur dengan LA Mania -- kelompok suporter bola Persela Lamongan -- karena pernah saling berhutang budi.Â
Pun Aremania yang begitu mesra dengan The Jack Mania yang terbukti saat saya membawa tas berlogo Arema langsung disapa hangat oleh seorang berkaos Persija di kawasan FX Sudirman.
Dengan jarak tak sampai 100 km, orang Malang dan Surabaya sebenarnya saling membutuhkan. Banyak orang Malang bekerja di Surabaya dan sebaliknya. Sudah tak terhitung pula orang Malang yang akhirnya berjodoh dengan orang Surabaya.Â
Melahirkan generasi baru antara Aremania dan Bonekmania. Kalau pemikiran ini semakin dimengerti oleh mereka yang tertutup egonya, bisa jadi tak akan ada lagi peristiwa bentrok dua suporter bola ini.
Tapi entah kapan. Â
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H