Terlebih, hampir semua perpustakaan menyediakan AC agar pemustaka lebih nyaman. Meski demikian, lebih baik kita memfokuskan membaca satu buku dulu secara tuntas baru beralih ke buku berikutnya.
Keempat, sediakan anggaran untuk membeli buku.Â
Bagi saya, tidak ada ruginya dengan menyisihkan uang untuk membeli buku. Barang ini bukanlah rokok yang memiliki banyak kerugian dan mudah sekali habis.Â
Jika selesai membaca, buku bisa dipinjamkan atau pun didermakan. Jika jumlahnya banyak, buku bisa ditata sedemikian rupa menjadi perpustakaan mini. Sayang, saya belum sempat mengorganisasi buku yang saya punya.Â
Kelima, saya selalu berprinsip jika saya ingin menulis dengan baik, maka saya juga harus membaca lebih baik lagi.Â
Tulisan yang baik berasal dari hasil bacaan yang baik. Kelihatan kok suatu penulis  yang sudah membaca buku apa saja. Kelihatan juga penulis yang hanya asal menulis tanpa banyak membaca termasuk membaca ulang tulisannya sendiri.Â
Makanya, agar bahan bakar untuk menulis ini tidak cepat habis, ya saya harus banyak membaca.
Keenam, membaca tidak harus dalam bentuk buku.Â
Majalah, koran, dan tabloid juga bisa jadi sumber referensi. Bahkan, ada sebuah majalah yang malah menjadi sumber bacaan utama saya, yakni Majalah Natgeo.Â
Majalah ini memiliki bobot bacaan yang sangat baik terlebih mengenai penelitian kehidupan manusia dan sejarah. Saya sering mendapatkan ide menulis dari majalah ini.Â
Nah itulah beberapa hal yang bisa dilakukan agar membaca bukan lagi sekadar kewajiban yang harus dibebankan.Â
Jika konsisten dengan hal-hal itu, maka secara tidak sadar, kita sudah menghabiskan sejumlah buku dalam waktu dalam satu bulan tanpa target-target tertentu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H