Daun-daun itu berguguran dari pohon-pohon yang rindang di sekeliling ponten. Setelah kulonuwun kepada petugas tersebut, saya pun mulai mengeksplorasi tempat ini. Dimulai dari prasasti revitalisasi ponten yang dilakukan oleh Wali Kota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo, kegiatan ini didanai oleh bank pembangunan daerah setempat.
Ada beberapa bagian di dalam ponten ini. Bagian depan berupa tempat duduk yang kemungkinan digunakan masyarakat untuk mengantre ataupun melakukan aktivitas lain selepas buang air ataupun  mandi seperti mencuci. Ini menandakan bahwa untuk melakukan modernisasi, tak hanya dalam hal fisik saja namun juga dalam bentuk mental warganya. Kalau mau menggunakan fasilitas umum ya harus antre.
Bilik mandi ponten ini berada di sisi kanan dan kiri. Walau hanya bisa dilewati 1-2 orang saja, namun bilik mandi ini cukup muat jika digunakan sekitar 4-5 orang. Pipa-pipa pancuran air masih tampak menganga meski tak ada lagi aliran air yang melewatinya.
Karsten merupakan salah satu arsitek kenamaan Belanda yang dikenal ahli tata kota dan berhasil mengubah wajah kota baru di Indonesia. Bagi masyarakat Malang seperti saya, jasa Karsten amatlah besar dalam menata Kota Malang pada awal pendirian Kota ini.
Sementara di Solo, yang saat itu masih memiliki kuasa cukup besar untuk mengatur wilayahnya dibandingkan Malang, Mangkunegara VII melakukan terobosan dengan membangun ponten-ponten semacam ini. Bagi Mangkunegaran VII, kompromi dengan penguasa Belanda harus dilakukan agar rakyatnya sejahtera.
Tentu, saya sangat sependapat dengan hal ini. Bagi saya yang hidup dengan ekonomi cukup, tentu tidak sulit memiliki fasilitas MCK sendiri yang memadai. Namun, bagi mereka yang hidup kekurangan dan tinggal di sekitar sungai, fasilitas MCK amatlah mewah.Â
Tidak mungkin penghasilan mereka bisa digunakan untuk membangun fasilitas MCK sendiri. Apalagi saat itu, sekitar tahun 1930an, sedang terjadi depresi besar dunia yang membuat ekonomi warga sangat memprihatinkan.