Bagi saya, suatu tempat bisa mengena di hati tidaklah harus dikenal banyak orang.
Tidak melulu terlihat baik di Instagram dan bisa dipamerkan ke seluruh penjuru dunia. Bisa jadi, tempat tersebut hanyalah sebuah bangunan sederhana namun kaya makna dan saya bisa mengambil hikmah darinya.
Itulah yang saya dapat ketika tiba di Kota Solo. Kota yang telah kehilangan status istimewanya ini bagi saya tetaplah istimewa. Ia menyimpan banyak tempat menarik yang tidak hanya bisa dilihat dan dinikmati secara kasat mata, tapi bisa dipetik pelajarannya. Salah satunya adalah Ponten Ngebrusan.
Awal persinggungan saya dengan tempat ini dari sebuah video yang ditayangkan oleh yayasan warna-warni saat mengupas modernisasi budaya Jawa. Proses menuju masyarakat modern yang dilakukan oleh KGPAA Mangkunegara VII ini begitu menarik perhatian.Â
Tidak sekadar dalam bentuk fisik, namun juga dalam bentuk mental. Proses membuat orang Jawa memiliki standar hidup lebih tinggi dibandingkan era sebelumnya, terutama di wilayah Kadipaten Mangkunegara VII.
"Di ponten ya, Mas. Mau ngapain ke sana?"
Saya tersenyum kecut. Sebuah pertanyaan dari pengemudi ojek daring yang mengantar saya meluncur dan seakan memberi kesan tempat ini tidaklah bermakna.
"Ya mau belajar mas, sekalian wisata. Ini peninggalan terbaik Kota Solo kan, Mas?"
Ia hanya mengangguk. Saya tidak menyalahkannya karena memang tempat ini bagi banyak orang tidaklah menarik. Apa yang bisa dilihat di tempat mandi cuci kakus umum? Bukankah itu hanya sebuah tempat untuk mandi dan buang air saja?
Saya tak melanjutkan polemik kecil ini. Setibanya di Kampung Kestalan, Kecamatan Banjarsari, akhirnya saya menemukan tempat ini. Di depan saya, sebuah bangunan berwarna putih seperti berdiri megah.Â
Di sampingnya, jejeran bangku taman dengan aneka bunga membatasi bangunan tersebut dengan sebuah sungai yang cukup besar.
Daun-daun itu berguguran dari pohon-pohon yang rindang di sekeliling ponten. Setelah kulonuwun kepada petugas tersebut, saya pun mulai mengeksplorasi tempat ini. Dimulai dari prasasti revitalisasi ponten yang dilakukan oleh Wali Kota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo, kegiatan ini didanai oleh bank pembangunan daerah setempat.
Ada beberapa bagian di dalam ponten ini. Bagian depan berupa tempat duduk yang kemungkinan digunakan masyarakat untuk mengantre ataupun melakukan aktivitas lain selepas buang air ataupun  mandi seperti mencuci. Ini menandakan bahwa untuk melakukan modernisasi, tak hanya dalam hal fisik saja namun juga dalam bentuk mental warganya. Kalau mau menggunakan fasilitas umum ya harus antre.
Bilik mandi ponten ini berada di sisi kanan dan kiri. Walau hanya bisa dilewati 1-2 orang saja, namun bilik mandi ini cukup muat jika digunakan sekitar 4-5 orang. Pipa-pipa pancuran air masih tampak menganga meski tak ada lagi aliran air yang melewatinya.
Karsten merupakan salah satu arsitek kenamaan Belanda yang dikenal ahli tata kota dan berhasil mengubah wajah kota baru di Indonesia. Bagi masyarakat Malang seperti saya, jasa Karsten amatlah besar dalam menata Kota Malang pada awal pendirian Kota ini.
Sementara di Solo, yang saat itu masih memiliki kuasa cukup besar untuk mengatur wilayahnya dibandingkan Malang, Mangkunegara VII melakukan terobosan dengan membangun ponten-ponten semacam ini. Bagi Mangkunegaran VII, kompromi dengan penguasa Belanda harus dilakukan agar rakyatnya sejahtera.
Tentu, saya sangat sependapat dengan hal ini. Bagi saya yang hidup dengan ekonomi cukup, tentu tidak sulit memiliki fasilitas MCK sendiri yang memadai. Namun, bagi mereka yang hidup kekurangan dan tinggal di sekitar sungai, fasilitas MCK amatlah mewah.Â
Tidak mungkin penghasilan mereka bisa digunakan untuk membangun fasilitas MCK sendiri. Apalagi saat itu, sekitar tahun 1930an, sedang terjadi depresi besar dunia yang membuat ekonomi warga sangat memprihatinkan.
Mangkunegara VII yang menguasai Banjarasari, wilayah yang kini berstatus kecamatan di Solo, sadar akan hal itu. Terlebih, Kampung Kestalan, perkampungan yang berada di sekitar Ponten Ngebrusan ini dikenal sebagai kampung yang dekat dengan kandang kuda milik Legiun Kadipaten Mangkunegaran.Â
Artinya, tak semata untuk mandi dan buang air semata, kedekatan warga sekitar pada zaman itu dengan hewan peliharaan membuat daerah ini penjadi prioritas sang adipati dalam pembangunan ponten ini.
Sungai yang mengalir di sekitar ponten juga menjadi perhatian sang raja. Dengan disiplin yang cukup tinggi, ponten ini diwajibkan untuk dibersihkan sehari dua kali. Sang adipati juga tak jarang turun langsung untuk meninjau sendiri kebersihan ponten ini. Jika sekarang, blusukan pun akan dilakukan sang adipati agar segalanya bisa berjalan baik.
Solo masihlah pusat kebudayaan Jawa dengan segenap tata krama yang dijaganya. Solo masih banyak menyimpan bangunan fisik yang mendukung pembangunan mental warganya. Ponten Ngebrusan ini adalah salah satu buktinya. Meski tidak diperuntukkan bagi putri raja, ponten ini menjadi bukti bahwa ada pemimpin yang benar-benar mencintai rakyatnya.Â
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H