Ketika saya menaiki Bus TransJakarta, semangat untuk kehidupan lebih baik lagi pun tampak. Para pekerja yang berjalan cepat di sepanjang jembatan penghubung antar halte TransJakarta menjadi bukti. Jakarta adalah daya tarik kehidupan sekaligus menunjukkan sisi lainnya yang keras. Yang hanya mampu dilewati mereka yang memiliki daya juang tinggi.
Di sisi lain, Jakarta menyimpan cerita kelamnya sendiri. Saat saya menaiki ojek daring menuju sebuah tempat, dengan asyiknya melewati gang-gang sempit.Â
Sepanjang gang itu, rumah berhimpitan satu sama lain. Menurut sang driver, apa yang saya lewati itu belum ada apa-apanya jika melihat bagian Jakarta lain yang lebih kumuh dan mengerikan. Ya, saya paham hal itu karena sering mendengar dan menyaksikan tayangan di televisi mengenai kemiskinan Jakarta.Â
Saya juga kerap mendengar ada sebuah tur singkat yang menuju tempat-tempat kumuh di Jakarta. Tur Kemiskinan Ibu Kota, begitu mereka menyebutnya.
Walau sempat ngilu dengan apa yang saya lihat, namun ada satu pelajaran berharga yang saya dapat. Warga Jakarta, yang hidup di gang-gang sempit itu, tampak bahagia dengan kehidupan mereka. Terlepas dari jeratan kehidupan yang sedang mereka jalani, saya hampir tak melihat wajah kusam warga di sana.
Ibu-ibu yang sedang asyik bersenam pagi, anak-anak yang bermain bola, hingga para orang tua yang bercakap-cakap dengan logat "loe gue end". Bagi saya, mereka tampak enjoy aja.Â
Padahal, saya sudah mengelus dada kala makan di sebuah warung tegal dan mendapati tagihan makanan saya sebesar 20.000 ribu rupiah dari perkiraan saya yang hanya 12.000 rupiah.
Semua akhirnya kembali kepada preferensi masing-masing orang. Bagi saya sendiri, Jakarta tetaplah asyik untuk dikunjungi jika hanya sekadar berwisata atau menengok sanak saudara. Untuk menjalani kehidupan nyata sehari-hari, rasanya mental saya belum siap.