Bagi sebagian orang, megengan masih merupakan ajaran yang diajarkan turun-temurun. Apapaun kondisinya, jika masih ada rezeki, selalu sisihkan untuk kegiatan ini. Kadang, tak melulu kue apem, ada pula buah-buahan yang diberikan sebagai pengganti kue-kue tersebut. Pernah juga ada tetangga yang memang hidup kekurangan namun ia memiliki cukup rezeki buah-buahan yang melimpah. Maka, aneka buah pun ia berikan kepada tetangga sekitarnya.
Adagium memberi memancing rezeki bisa jadi dijadikan alasan bagi orang-orang tersebut. Makanya, ibu saya selalu memastikan siapapun yang datang untuk memberi pemberian saat megengan harus diterima dengan baik. Memastikan pula kita sangat mengapresiasi pemberian mereka. Dan tentunya, kita balas pula dengan cara yang serupa.
Lantas, apa tidak mubazir banyak kue-kue yang diberikan antar tetangga?
Uniknya, di lingkungan tempat tinggal saya, sudah ada semacam "perjanjian" kapan akan melakukan megengan. Dimulai dari H-6 puasa, sudah ada satu dua orang yang melakukan kegiatan ini. Esok harinya, ada satu hingga tiga orang. Kegiatan ini berlangsung hingga H-1 puasa. Kue-kue pun bisa dimakan setiap hari secara bergantian. Meski terkesan membosankan, namun lumayan juga untuk pengiritan. Apalagi, kali ini kue yang diedarkan semakin variatif. Yang penting masih ada kue apemnya.
Terakhir, megengan merupakan usaha berkelanjutan untuk menahan hawa nafsu yang akan dilakukan secara penuh saat bulan puasa. Hawa nafsu itu termasuk pula pamer pemberian kue yang telah diedarkan. Yang terpenting, niat ikhlas untuk memberi tetap terpatri di hati dan terus dilakukan meski bulan ramadan berakhir.
Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI