Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ketika Tetangga Membuat Jadwal "Megengan"

9 Mei 2019   03:00 Diperbarui: 9 Mei 2019   07:07 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. - Dokpri

Saya tinggal di perkotaan kosmopolitan dan memiliki nilai-nilai budaya yang sudah luntur.

Jadi, tak ada tradisi khusus menjelang puasa atau saat hari-hari permulaannya. Kalau ada, paling kirab ramadan anak-anak sekolah yang pasti juga dilakukan oleh banyak tempat. Tak ada acara mandi bersama atau mungkin kirab khusus. Tak ada pula upacara atau ritual yang menjadi ciri khas.

Jikalau ada itu adalah megengan. Tradisi pada suku Jawa untuk menyambut datangnya bulan suci ini. Kue apem, yang menjadi inti dari kegiatan megengan biasnya diberikan kepada tetangga atau kerabat terdekat.

Megengan yang pada hakikatnya adalah megeng hawa nafsu, atau mengekang hawa nafsu merupakan tradisi yang masih terus dilestarikan di sekitar tempat tinggal saya. Ater-ater apem, nama lain dari tradisi ini masih dilakukan walau di tengah himpitan ekonomi yang dirasakan oleh beberapa orang.

Ya, Megengan tak lagi didominasi oleh orang-orang yang secara ekonomi berkecukupan. Megengan kini juga dilaksanakan oleh orang-orang yang bisa dikatakan berkekurangan. Itu terjadi pula di sekitar lingkungan saya.

Kala saya pulang dari sebuah tempat beberapa hari lalu, seorang anak kecil membawa sebuah rantang mengetuk pintu rumah saya. Saat saya mempersilakan masuk, ia  langsung memberikan rantang tersebut. Saya yang tahu maksudnya segera mengambil rantang dari anak itu dan masuk ke dapur.

Rantang itu berisi penuh kue. Selain apem, ada pastel, lemper, lumpur, agar-agar, dan rengginang. Selepas seluruh kue berpindah ke piring saya, rantang itu segera saya kembalikan. Saya mengucapkan terima kasih banyak dan sedikit ujaran bahwa kue yang ia berikan sangat bermanfaat. Saya sedang kelaparan dan sangat menginginkan pastel untuk sekadar mengganjal isi lambung saya.

Anak itu lantas tersenyum dan kembali ke rumahnya. Saat melihatnya berjalan agak cepat, saya sungguh bersyukur. Bisa menerima pemberian dari orang yang sebenarnya berada jauh di bawah saya dalam hal ekonomi. Si anak tadi merupakan anak seorang buruh cuci yang tak berayah. Kadang, untuk makan pun, ia sangat kesusahan. Maka, saya cukup heran dengan apa yang ia berikan pada jelang ramadan tahun ini.

Megengan yang dilakukan sang ibu bisa jadi banyak mengorbankan biaya. Tapi entah kenapa, saya melihat keikhlasan dari mereka. Si ibu benar-benar menata kuenya dengan baik. Si anak pun, dengan susah payah menjaga agar rantang yang ia bawa masih dalam keadaan tidak miring sehingga kue di dalamnya bisa terjaga.

Keikhlasan inilah yang sejatinya harus temaktub dalam tradisi-tradisi menjelang atau permulaan ramadan. Bulan suci ini yang memang bernafas saling berbagi menjadi dasar bagi siapa saja, entah kaya atau miskin untuk bisa berbagi dengan kemampuannya masing-masing.

Walau berada dalam taraf ekonomi lemah, saya baru tahu dari ibu saya, bahwa tetangga saya tersebut sangat aktif mengikuti arisan dalam perkumpulan dasa wisma. Arisan ini memang akan diambil pada saat menjelang ramadan atau idulfitri. Maka, dengan sedikit demi sedikit uang yang didapatnya ia sisihkan untuk berbagi dengan orang di dekatnya.

Bagi sebagian orang, megengan masih merupakan ajaran yang diajarkan turun-temurun. Apapaun kondisinya, jika masih ada rezeki, selalu sisihkan untuk kegiatan ini. Kadang, tak melulu kue apem, ada pula buah-buahan yang diberikan sebagai pengganti kue-kue tersebut. Pernah juga ada tetangga yang memang hidup kekurangan namun ia memiliki cukup rezeki buah-buahan yang melimpah. Maka, aneka buah pun ia berikan kepada tetangga sekitarnya.

Adagium memberi memancing rezeki bisa jadi dijadikan alasan bagi orang-orang tersebut. Makanya, ibu saya selalu memastikan siapapun yang datang untuk memberi pemberian saat megengan harus diterima dengan baik. Memastikan pula kita sangat mengapresiasi pemberian mereka. Dan tentunya, kita balas pula dengan cara yang serupa.

Lantas, apa tidak mubazir banyak kue-kue yang diberikan antar tetangga?

Uniknya, di lingkungan tempat tinggal saya, sudah ada semacam "perjanjian" kapan akan melakukan megengan. Dimulai dari H-6 puasa, sudah ada satu dua orang yang melakukan kegiatan ini. Esok harinya, ada satu hingga tiga orang. Kegiatan ini berlangsung hingga H-1 puasa. Kue-kue pun bisa dimakan setiap hari secara bergantian. Meski terkesan membosankan, namun lumayan juga untuk pengiritan. Apalagi, kali ini kue yang diedarkan semakin variatif. Yang penting masih ada kue apemnya.

Terakhir, megengan merupakan usaha berkelanjutan untuk menahan hawa nafsu yang akan dilakukan secara penuh saat bulan puasa. Hawa nafsu itu termasuk pula pamer pemberian kue yang telah diedarkan. Yang terpenting, niat ikhlas untuk memberi tetap terpatri di hati dan terus dilakukan meski bulan ramadan berakhir.

Salam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun