Jangan baper dulu. Saya itu AREMA. Lahir dan besar di Malang dan sangat mencintai AREMA dan Kota Malang.
Tulisan ini muncul selepas saya melihat lini masa di jejaring sosial dan foto-foto yang dikirimkan melalui WA kepada saya. Kemarin, (12/04/2019) merupakan hari yang spesial bagi warga Malang, baik yang tinggal di Malang maupun di perantauan.
Laga Final Piala Presiden 2019 dihelat di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang dengan mempertemukan antara Arema FC melawan musuh bebuyutannya, Persebaya Surabaya. Tak sekadar laga final biasa, duel maut ini bak laga El Classico dua tim yang sejak bertahun-tahun berseteru. Bukan hanya di dalam lapangan, namun juga di luar lapangan, di jalan, hingga di media sosial.
Selain mempertemukan dua tim yang sama-sama mengklaim sebagai kampium di Jawa Timur dan Indonesia, ada momen spesial juga yang terjadi pada jumat berkah kemarin.Â
Momen itu adalah penggunaan atribut Arema di berbagai instansi, terutama pemerintahan di Malang Raya. Alhasil, kegiatan yang dilakukan dari pagi, siang, hingga sore menjelang kick off laga final tersebut bernuansa biru Arema.
Sekolah-sekolah pun ikut melaksanakan kegiatan pembelajaran menggunakan atribut ini. Demikian pula guru-guru dan pegawai lainnya semuanya memakai kaos Singo Edan.Â
Intinya, Arema Day benar-benar masuk di hati segenap masyarakat Malang. Kekompakan untuk mendukung tim kebanggaan memang diacungi jempol.
Walau sangat membanggakan dan akhirnya Arema berhasil menjadi juara Piala Presiden 2019, nyatanya kegiatan tersebut memiliki catatan khusus. Tak lain dan tak bukan, semangat sportivitas dalam mendukung tim kebanggaannya.
Bolehlah berbangga dengan mengenakan kaos tim Arema sepanjang hari. Namun, nilai-nilai yang dimiliki oleh Tim Arema tak boleh dilupakan. Nilai-nilai perjuangan, kerja sama, rela berkorban, hingga menghargai orang lain haruslah tetap dinyalakan.
Melalui penggunaan atribut Arema, terutama di Sekolah Dasar, nilai-nilai tersebut tak boleh dilupakan untuk diberikan pada siswa-siswinya. Tinggal di Malang dan menjadi Arema tentu tak boleh melupakan nilai-nilai tersebut.
Nilai yang dibangun dari para pendiri Arema dan pemain pendahulu serta supporter yang bahu-membahu berusaha sekuat tenaga agar Arema bisa eksis hingga sekarang.Â
Apalagi, Arema adalah salah satu tim yang tidak pernah menggunakan kas negara dalam membiayai kegiatannya. Arema adalah salah satu tim sepak bola yang pernah terseok-seok masalah dana namun dengan kekompakan segenap elemen di dalamnya masih bisa bertahan hingga sekarang.
Nilai persatuan, yang ada di dalam Arema juga tak boleh ditinggalkan. Sampai saat ini, dualisme di tubuh Arema masih terjadi. Efek domino akibat dualisme PSSI dan kompetisi liga beberapa tahun lalu. Walaupun, hampir semua Aremania mendukung Arema FC yang berlaga di Liga  1 Indonesia.
Persatuan juga termasuk menghargai tim-tim lain yang menjadi kompetitor Arema, terutama Persebaya Surabaya. Sudah bukan rahasia umum, sejak dini, anak-anak di Malang maupun di Surabaya telah terdoktrin untuk membenci satu sama lain. Bagi sebagian anak Malang, Bonek adalah hal yang menjijikkan.
Saya punya tetangga berusia masih 5 tahun yang begitu membenci Bonek dan Persebaya. Segala hal tentang mereka, seperti ikon buaya adalah sesuatu yang mengerikan. Ia juga sangat membenci apapun yang berwarna hijau.Â
Beberapa waktu lalu, dengan bangga ia mulai menulis kalimat Bonek JanXXX dalam sebuah unggahan story di WA ibunya. Pun, ketika saya mengunjungi Surabaya dan menemukan masih tulisan Arema JanXXX di tembok dan beberapa tempat lain. Sesuatu yang juga ditemukan di Malang dengan tulisan Bonek JanXXX ataupun tulisan Bonek yang diberi garis silang.
Doktrin kebencian semacam inilah yang harus mulai dihilangkan, terutama sejak dini. Walau sulit, tapi itu harus dilakukan. Kerja sama dari orang tua, guru, dan masyarakat sekitar untuk tidak menyulut api konflik. Penggunaan atribut Arema secara masif juga seharusnya menjadi titik balik untuk mengakhiri api konflik.Â
Ketika mereka semua menggunakan atribut Arema, maka mereka juga harus siap menghargai tim lain seperti apa yang dilakukan para pemain di lapangan. Termasuk, Persebaya sekalipun. Tentu, tindakan ini juga harus dilakukan oleh masyarakat Surabaya yang juga harus menghargai Arema.
Ada pula yang berpendapat, pemberitaan yang tidak adil media Jawa Timur dengan porsi lebih banyak kepada Persebaya. Apapun itu, jika boleh dikatakan jujur, kedua daerah ini saling membutuhkan.
Orang Malang banyak yang bekerja di Surabaya. Sedangkan, orang Surabaya banyak yang menghabiskan waktu liburan di Malang.Â
Aktivitas penglaju kedua kota ini juga kerap membuat jalur Malang-Surabaya macet total terutama di akhir pekan. Kalau sudah tahu sama-sama membutuhkan, rasanya kok naif sekali kalau di luar lapangan masih ada konflik.
Permintaan dari Menko PMK Puan Maharani kala meminta Aremania memberikan tepuk tangan bagi Tim Persebaya yang menjadi runner-up sebenarnya sangat bagus. Sayang, ajakan itu dibalas dengan teriakan yang kurang etis dari para Aremania.
Saya masih ragu jika konflik ini akah berakhir meski ketika melihat dua leg Final Piala Presiden, jarang sekali terdengar nyanyian rasis antara kedua supporter, baik di GBT maupun di Kanjuruhan.Â
Walau begitu, saya masih berharap konflik ini segera berakhir agar suatu saat nanti saya bisa berfoto dengan leluasa menggunakan atribut Arema ketika berjalan-jalan di Kota Surabaya. Juara sebenarnya adalah juara yang bisa menghargai tim lain, termasuk tim yang dikalahkannya.
Selamat untuk Arema, Selamat untuk Persebaya.
Kalian semua luar biasa. Final ini sangat istimewa.
Salam Satu Jiwa dan Salam Satu Nyali.
PS: Harap Berkomentar yang Baik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H