Tak melulu nomor jalur yang khusus di Stasiun Mojokerto dan Sidoarjo, kereta ini juga memiliki jalur spesial. Jalur tersebut adalah Jalur Tarik-Sidoarjo yang sempat menjadi jalur mati selama hampir 40 tahun. Sejak dibuka tahun 1880, jalur ini sempat ditutup tahun 1972 dan dibuka lagi pada 2014. Kereta Api Jenggalalah yang menjadi KA perintis jalur ini. Ia menjadi yang pertama dan satu-satunya yang melintasinya.Â
Di suatu pekan, saya pun berkesempatan menjajal kereta api ini. Dari Mojokerto, saya akan menuju Sidoarjo sebelum pulang ke Malang. Di Stasiun Mojokerto, KA Jenggala sudah menjadi ikon. Replika kereta mungil menghiasi salah satu bagian ruang tunggu stasiun. Rangkaian kereta berwarna biru dengan empat kereta ini terlihat elegan. Itu baru replikanya. Bagaimana dengan aslinya?
Ternyata apa yang saya bayangkan lebih menarik hati dari aslinya. KA Jenggala masih terlihat seperti kereta baru. Walau telah beroperasi sejak 2014, nyatanya kesan bersih masih terasa.Â
Susunan kursi yang serupa dengan KA Prameks menjadi pembeda KA ini dengan KA Penataran. Ruang antar kursi terlihat lebih lebar.Â
Pegangan tangan tempat penumpang yang berdiri juga terlihat kinclong. Meskipun senang dengan fasilitas yang saya temui, nyatanya ada perasaan miris di dalam hati.
Tak banyak penumpang hadir di kereta yang saya naiki. Tak seperti KA Penataran atau Rapih Dhoho yang selalu penuh, KA Jenggala terkesan sunyi. Keramaian baru saya temukan ketika menuju salah satu nomor kereta yang ditempati rombongan anak-anak TK. Mereka datang dari Mojokerto untuk berjalan-jalan ke Sidoarjo.
Kegaduhan yang ditimbulkan anak-anak TK ini menjawab pertanyaan saya mengenai replika KA Jenggala di Stasiun Mojokerto. Replika dengan ajakan untuk berwisata. Ajakan yang juga saya temukan di Stasiun Sidoarjo dalam bentuk spanduk. Artinya, kalau tidak dibantu oleh kegiatan wisata anak-anak sekolah, baik TK, SD, maupun SMP, kereta ini akan sepi.