Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Konflik Antara Petugas Sampah dan Kepala Sekolah, Siapa yang Salah?

27 Maret 2019   08:11 Diperbarui: 27 Maret 2019   12:36 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampah yang menggunung. - Dokpri.

Rekan-rekan guru honorer di tempat saya mengajar dulu wadul ke saya mengenai keberadaan sampah yang menggunung di halaman sekolah.

Foto-foto yang dikirim kepada saya memperlihatkan bagaimana sampah-sampah tersebut menggunung dengan indahnya. Tak hanya satu, namun lebih dari tiga tong sampah yang terlihat penuh bahkan meluber hingga berceceran di halaman sekolah.

Kondisi diperparah dengan keberadaan siswa-siswi yang bermain di sekitar halaman sekolah tersebut. Mereka seakan tak peduli dengan keberadaan tumpukan sampah yang menggunung tersebut.

Bahkan, dari potret yang ada, mereka terlihat seperti sedang bermain di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah.

Sejak kapan dan mengapa sampah-sampah ini bisa begitu banyak memenuhi halaman sekolah?

Jika Anda membaca beberapa tulisan saya sebelumnya, sekolah tempat saya mengajar dulu dipimpin oleh seorang Kepala Sekolah yang bermasalah.

Ia begitu otortiter dan melaksanakan kebijakan yang aneh dan kadang tak masuk akal. Keberadaannya sempat ditentang oleh banyak wali murid.

Surat protes kepada pengawas sekolah sempat saya tulis dan mendapat jawaban berupa rencana mutasi sang Kepala Sekolah. Kisah selengkapnya bisa dibaca di sini.

Namun, hingga kini, tak ada kabar lagi mengenai proses mutasi tersebut. Yang ada, sang KS bermasalah tetap duduk nyaman pada posisinya dan bisa leluasa melakukan kegiatan apapun yang ia suka. Salah satunya yakni mengenai tidak dibayarnya uang sampah sekolah.

Uang atau iuran ini merupakan pengeluaran rutin bulanan yang harus dikeluarkan oleh sekolah. Sama halnya dengan rekening listrik, telepon, air, dan internet, sekolah harus menganggarkan iuran sampah ini setiap bulan. Di dalam juknis Bantuan Operasional Sekolah, iuran sampah juga mejadi salah satu komponen pembiayaan langganan daya dan jasa.

Artinya, sampah yang dihasilkan sekolah harus diangkut keluar sekolah meski usaha untuk meminimalisasi adanya sampah itu juga harus terus dilakukan.

Semisal, program 3R dan pengolahan sampah lainnya. Namun, kondisi lapangan yang belum memungkinkan adanya program berkelanjutan mengenai masalah sampah membuat sampah-sampah yang dihasilkan juga harus diangkut secara berkala agar tidak memenuhi lingkungan sekolah.

Sampah yang menggunung. - Dokpri.
Sampah yang menggunung. - Dokpri.

Sayangnya, dengan alasan dana BOS yang dimiliki sekolah semakin menipis dan ditambah permintaan petugas sampah agar menaikkan ongkos bulanan untuk mengangkut sampah, maka keberadaan sampah-sampah sekolah tersebut dibiarkan begitu saja. Petugas sampah yang berselisih paham dengan Kepala Sekolah akhirnya tidak lagi mengangkut sampah yang dihasilkan oleh warga sekolah setiap harinya.

Alhasil, sampah pun semakin menggunung. Bau anyir menyeruak hingga ke segala penjuru. Belum lagi, keberadaan sampah tersebut berdekatan dengan saluran pembuangan air. Kompeksitas masalah sampah sekolah ini semakin rumit.

Padahal, menurut beberapa pakar kesehatan, adanya sampah ini dalam jangka waktu lama sangat tak baik untuk kesehatan. Pada beberapa orang yang sensitif, adanya bau sampah akan membuat gangguan saluran pernafasan.

Infeksi saluran pernafasan pun bisa menyerang. Mirisnya, anak-anak yang bermain di sekitar sampah menggunung tersebut yang pertama kali merasakan dampaknya.

Namanya anak-anak, diberi larangan dengan cara apapun, masih saja yang tidak menghiraukan instruksi tersebut.

Konflik antara mengenai sampah di lingkungan masyarakat sejatinya bukan konflik yang baru. Di perumahan, konflik ini sering kali muncul dengan tak adanya petugas sampah yang bersedia datang untuk mengambil sampah-sampah warga. Biasanya, masalah iuran sampah yang menjadi persoalan pokoknya.

Retribusi sampah masuk dalam langganan daya dan jasa yang harus dikeluarkan sekolah. - Portal BOS Online
Retribusi sampah masuk dalam langganan daya dan jasa yang harus dikeluarkan sekolah. - Portal BOS Online

Egoisme tinggi yang tidak bisa menghargai jasa dan jerih payah petugas sampah menjadi hal yang tak bisa disepelekan. Jika direnungkan, tugas mulia ini cukup berat. Mereka harus berjibaku dengan aneka sampah yang menggunung dengan bau tak sedap. Risiko kesehatan juga harus terima. Belum lagi, kadang kala sampah yang dibuang tak dirapikan oleh si empunya.

Sampah-sampah itu sering tercecer begitu saja. Petugas sampah pun juga tak jarang membersihkan kembali ceceran sampah yang ada di sekitar tempat sampah. Pekerjaan mereka pun menjadi berat.

Inilah seharusnya yang menjadi dasar pemikiran bahwa jika tak mampu membayar petugas sampah, usaha untuk mengurangi sampah atau mengolahnya sendiri haruslah ditanamkan. Jika tak bisa mengolah sampah, maka hargailah petugas sampah.

Tong sampah sampai tidak muat. - Dokpri.
Tong sampah sampai tidak muat. - Dokpri.

Termasuk, jika mereka meminta bayaran lebih tinggi akibat volume sampah yang semakin banyak. Di beberapa kota, bahkan telah diatur perda mengenai retribusi sampah dengan harga yang cukup tinggi. Seperti yang terjadi di Kota Bandung yang mulai menaikkan retribusi sampahnya secara berkala.

Alasan ini bukan sekadar pepesan kosong. Menarik ke belakang, sampah-sampah pernah memenuhi jalanan Kota Bandung sebelum Wali Kota Bandung Ridwan Kamil memerintah. Dengan adanya kenaikan retribusi sampah semacam ini, diharapkan warga tak begitu saja membuang sampah sembarangan, menguruangi sampah, dan lebih menghormati petugas sampah.

Kembali ke konflik petugas sampah dengan kepala sekolah, seyogyanya pemimpin sekolah tersebut bersikap lebih elegan. Jika keberatan, ia bisa meminta keterangan dari perangkat masyarakat, misal Ketua RT di sekitar lingkungan sekolah untuk berembug dan membandingkan kondisi sekolah dengan warga di sekitarnya.

Kalaupun masih keberatan, maka kebijakan hanya sampah yang benar-benar tak mampu diolah sekolahlah yang diangkut. Selain mengurangi biaya retribusi sampah, kegiatan ini juga sesuai dengan prinsip sekolah yang katanya menjunjung nilai-nilai Adiwiyata.

Menurut beberapa rekan guru, petugas sampah meminta harga 300.000 rupiah setiap bulan kepada sekolah. Walau mengalami kenaikan, jumlah ini terbilang kecil dibandingkan dengan volume sampah yang semakin banyak.

Apalagi, pos pengeluaran sampah juga tertuang dalam setiap pengeluaran bulanan. Jika tidak tidak dikeluarkan, maka akan timbul tanya tanya. Untuk apa uang tersebut digunakan?

Maka, hargailah petugas sampah karena ia sangat berjasa. Jika tidak, maka Anda adalah sampah yang harus didaur ulang.

Sekian.

***
Sumber: (1) (2)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun