Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Banyak yang Tahu, Jalan Protokol di Surabaya Ini Pernah Bernama Pahlawan Afrika

13 Maret 2019   07:34 Diperbarui: 13 Maret 2019   17:37 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Graha Wismilak 1924 yang berlokasi di Jalan Raya Darmo. Dok. Tropen Museum

Doel Arnowo (kiri) Wali Kota Surabaya 1950-1952 dan Mustajab, Wali Kota Surabaya 1952-1956. (Wikipedia)
Doel Arnowo (kiri) Wali Kota Surabaya 1950-1952 dan Mustajab, Wali Kota Surabaya 1952-1956. (Wikipedia)
Alasan historis juga menjadi dasar penolakan tersebut. Sejak zaman kolonial, Jalan Raya Darmo menjadi jalur perdagangan dan lalu lintas utama bagi warga kota dan pemerintah kolonial. Aneka perumahan elit yang dikenal sebagai Darmo Boulevard juga terdapat di sekitar jalan itu. Artinya, kedekatan warga Surabaya dan jalan ini sudah terjalin erat sejak dahulu kala.

Upaya untuk mengganti Jalan Raya Darmo dengan nama pahlawan ternyata bukan yang pertama kali. Pada tahun 1961, kala Surabaya dipimpin oleh wali kota Raden Satrio Sastrodiredjo, pernah tercetus penggantian Jalan Raya Darmo menjadi Jalan Patrice Lumumba. Mungkin, banyak yang bertanya, siapakah sosok Patrice Lumumba? Dari provinsi mana ia berasal?

Uniknya, sang pahlawan yang akan dijadikan nama jalan pengganti Jalan Raya Darmo adalah seorang tokoh politik Kongo dan pendiri Movement National Congolais (MNC). Lumumba berhasil membentuk pemerintahan Kongo pada tahun 1960 setelah berhasil memenangkan pemilu. Sayangnya, pada masa pemerintahannya ini, Kongo berada pada kondisi sulit akibat pemberontakan militer dan ia terbunuh pada tahun 1961.

Berbicara Jalan Raya Darmo, orang lebih tertarik dengan cerita Rumah Hantu Darmi. - Sumber Detik.com
Berbicara Jalan Raya Darmo, orang lebih tertarik dengan cerita Rumah Hantu Darmi. - Sumber Detik.com
Kematian Lumumba mendapat simpati dari seluruh dunia. Termasuk pula Presiden Soekarno yang kala itu gigih menentang kolonialisme di Asia-Afrika. Mengingat pada masa itu Indonesia berada pada masa Demokrasi Terpimpin, maka loyalitas kepada Bung Karno sangat kuat. Para elit tak segan melakukan kegiatan yang ditujukan sebagai simbol loyalitas kepada Bung Karno. Salah satunya dengan mengganti nama Jalan Raya Darmo ini.

Maka, pada tanggal 13 Maret 1961, sesuai SK Walikotapraja Surabaya nomor 187-k (pembetulan), Jalan Raya Darmo diubah menjadi Jalan Patrice Lumumba. Sayangnya, usia nama jalan baru ini hanya sekitar lima bulan. Pada Agustus 1961, SK itu dicabut dan nama Jalan Raya Darmo dikembalikan sesuai asalnya hingga kini. Penolakan dari warga dengan alasan tertentu yang membuat nama Darmo tetap ada di jantung Kota Surabaya.

Penolakan warga mengenai perubahan nama jalan ini sejatinya juga terjadi di berbagai wilayah. Artinya, jalan sebagai simbol kota, juga menjadi ajang atau ruang untuk berbagai kompetisi antara berbagai kepentingan politik. Nama jalan juga wujud dari perebutan kontrol atas produksi makna simbolik dalam pembangunan lingkungan kota. Jalan Raya Darmo akhirnya tak diganti namanya seperti jalan lain. Sebut saja Jalan Simpangplein yang menjadi Jalan Pemuda dan Kaliasin yang menjadi Jalan Basuki Rahmad.

Infografis. - Dokpri
Infografis. - Dokpri
Alih-alih mengubah nama Jalan Raya Darmo, kini Wali kota Surabaya Tri Rismaharini menjadikan jalan ini sebagai percontohan jalan lain di Surabaya. Bu Risma dengan telaten mempercantik jalan ini agar tetap nyaman dilalui. Beliau tak segan memarahi habis-habisan orang-orang yang mencoba mengusik ketenangan Jalan Raya Darmo. Seperti, yang pernah terjadi saat pembagian es krim gratis di sekitar Taman Bungkul. Acara yang mengakibatkan rusaknya pohon dan tanaman hias yang telah dirawat sejak bertahun-tahun.

Nah, bagaimana dengan kota Anda? Apakah pernah terjadi pro kontra perubahan nama jalan? Ceritakan yuk di kolom komentar. 

*** 
Sumber:

Basundawan, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman : Surabaya dan Malang. Yogyakarta : Penerbit Ombak. 
Basundoro, P., dkk. 2005. Kota Lama dan Kota Baru, Sejarah Kota-Kota di Indonesia Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun