Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Nyepi, Saatnya Jempol Menahan Diri

7 Maret 2019   08:27 Diperbarui: 7 Maret 2019   08:35 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Republika.co.id

Ketika hari raya keagamaan berlangsung, saya selalu mencoba untuk memaknainya terlepas dari agama apapun yang sedang merayakan hari raya itu.

Natal, Paskhah, Imlek, dan termasuk pula Nyepi. Saya percaya, setiap agama mengajarkan umatnya untuk menahan diri. Walau memiliki konsep ketuhanan yang berbeda-beda, namun saya cukup senang memaknai apa di balik hikmah dan pengajaran di dalamnya.

Menurut Putu, rekan saya dari NTB yang kini sedang merayakan Nyepi, perayaan ini memiliki makna hampir sama dengan ritual puasa dalam agama Islam yang saya anut. Ketika Nyepi berlangsung, ada sebuah upacara yang disebut Tawur Kasuga. Upacara ini bermakna untuk melepaskan sifat-sifat serakah yang ada dalam diri manusia.

Sifat ini merupakan sifat alami manusia sesuai kodrat dari Maha Kuasa. Sifat yang timbul akibat usaha untuk mempertahankan diri dalam kehidupannya. Adanya sifat semacam ini akan membuat manusia akan melakukan perbuatan yang mengambil sumber-sumber alam. Perbuatan yang kembali bermuara untuk mempertahankan hidupnya.

Maka dari itu, untuk mengimbangi sifat itu, manusia harus memiliki sifat ikhlas untuk memberi agar tercapai keseimbangan. Perbuatan memberikan persembahan dengan tulus ikhlas. Jika disimak dengan seksama, walau memiliki perbedaan tata ritual berbeda, maka tidak bisa dipungkiri, pengajaran Nyepi ada beberapa yang sama dengan pengajaran puasa Ramadan.

Di dalam ajaran Islam, puasa memiliki banyak hikmah. Salah satunya adalah untuk membersihkan dan menjernihkan manusia dari sifat kebinatangan. Sifat yang membuat manusia menjadi lebih binatang daripada menjadi manusia sendiri. Salah satu sifat tersebut adalah sifat sifat tamak yang kembali, bermuara untuk mempertahankan hidupnya.

Maka, menahan diri untuk tidak melakukan segala sesuatu yang bisa membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Salah satunya adalah tidak makan dan minum. Jika dilihat, apa yang dilakukan diri untuk menghindari sifat-sifat buruk tersebut hampir sama. Umat Hindu juga tidak makan selama seharian penuh karena ada pantangan amati geni, yakni larangan untuk menyalakan api, terutama untuk memasak.

Walau umat Islam masih diperbolehkan untuk berkativitas seperti biasa saat puasa dan umat Hindu harus melakukan pantangan karya, tapi kedua ibadah ini memiliki relevansi dengan kehidupan masa kini. Relevansi yang sangat bermanfaat, terlebih dengan apa yang sedang terjadi dalam kondisi bangsa dan bernegara.

Tahun politik sedang bersiap menyongsong hajatan besar. Hajatan lima tahun sekali untuk memilih pemimpin bangsa. Jika direnungkan, hajatan ini bermakna sangat besar agar bangsa Indonesia bisa melakukannya dengan baik. Berdemokrasi dan meraih kuasa dengan cara beradab tanpa meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan.

Sayangnya, apa yang diharapkan jauh panggang dari api. Sifat rakus untuk memncapai kuasa benar-benar terlihat nyata. Bukan lagi untuk mempertahankan kehidupannya seperti fitrah manusia, namun cara-cara kebinatanganlah yang seringkali muncul.

Sebaran ujaran kebencian, berita bohong, dan saling sering kerap mendominasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal, dalam konsititusi yang diatur dalam UUD 1945, negara ini benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual dan upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lantas, mengapa begitu banyak nilai-nilai kebinatangan yang muncul dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa?

Tak lain, semua bermula dari jempol yang bisa mengendalikan segala hal dengan mudah. Dengan kemajuan teknologi masa kini, jempol adalah kunci. Jempol adalah tangan kanan otak dan hati nurani paling setia yang juga pada akhirnya memiliki hawa nafsu.

Jika dulu hawa nafsu lebih banyak bermuara pada perbuatan buruk seperti mencuri, membunuh, merampok, dan lain sebagainya, kini pergeseran terjadi. Hawa nafsu online-lah yang mendominasi. Kata-kata kasar, makian, umpatan, menipu, menyebarkan berita bohong akan masuk di dunia maya tanpa batas.

Nah, pada perayaan Nyepi kali ini, dengan spirit untuk menahan diri dari hal-hal keduniawiaan dan bisa berujung pada sifat kebinatangan. Umat Hindu yang sedang beribadah saat ini akan mendapat nilai baru dalam kehidupannya dan menuju kehidupan lebih baik. Sementara umat nonhindu (saya tidak mempermasalahkan penyebutannya) juga barang tentu bisa mengambil spirit dari Nyepi ini.

Jika jempol biasa kita gunakan untuk menyebar fitnah, kabar bohong, umpatan, dan lain sebagainya,kok tidak ada salahnya mengganti dengan sesuatu yang lebih baik. 

Semisal, melihat laman donasi yang memberikan berbagai informasi mengenai saudara-saudara kita yang kekurangan. Jika biasanya jempol kita gunakan untuk melihat video-video bertendensi buruk, sesekali bisa digunakan untuk mendengarkan ceramah yang penuh kebaikan atau melihat disparitas kehidupan di sekitar kita. 

Disparitas yang menampilkan banyak kaum papa yang butuh uluran tangan. Dengan begitu, kita akan lebih menjadi manusia daripada menjadi hewan.

Selamat Hari Nyepi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun