Ketika hari raya keagamaan berlangsung, saya selalu mencoba untuk memaknainya terlepas dari agama apapun yang sedang merayakan hari raya itu.
Natal, Paskhah, Imlek, dan termasuk pula Nyepi. Saya percaya, setiap agama mengajarkan umatnya untuk menahan diri. Walau memiliki konsep ketuhanan yang berbeda-beda, namun saya cukup senang memaknai apa di balik hikmah dan pengajaran di dalamnya.
Menurut Putu, rekan saya dari NTB yang kini sedang merayakan Nyepi, perayaan ini memiliki makna hampir sama dengan ritual puasa dalam agama Islam yang saya anut. Ketika Nyepi berlangsung, ada sebuah upacara yang disebut Tawur Kasuga. Upacara ini bermakna untuk melepaskan sifat-sifat serakah yang ada dalam diri manusia.
Sifat ini merupakan sifat alami manusia sesuai kodrat dari Maha Kuasa. Sifat yang timbul akibat usaha untuk mempertahankan diri dalam kehidupannya. Adanya sifat semacam ini akan membuat manusia akan melakukan perbuatan yang mengambil sumber-sumber alam. Perbuatan yang kembali bermuara untuk mempertahankan hidupnya.
Maka dari itu, untuk mengimbangi sifat itu, manusia harus memiliki sifat ikhlas untuk memberi agar tercapai keseimbangan. Perbuatan memberikan persembahan dengan tulus ikhlas. Jika disimak dengan seksama, walau memiliki perbedaan tata ritual berbeda, maka tidak bisa dipungkiri, pengajaran Nyepi ada beberapa yang sama dengan pengajaran puasa Ramadan.
Di dalam ajaran Islam, puasa memiliki banyak hikmah. Salah satunya adalah untuk membersihkan dan menjernihkan manusia dari sifat kebinatangan. Sifat yang membuat manusia menjadi lebih binatang daripada menjadi manusia sendiri. Salah satu sifat tersebut adalah sifat sifat tamak yang kembali, bermuara untuk mempertahankan hidupnya.
Maka, menahan diri untuk tidak melakukan segala sesuatu yang bisa membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Salah satunya adalah tidak makan dan minum. Jika dilihat, apa yang dilakukan diri untuk menghindari sifat-sifat buruk tersebut hampir sama. Umat Hindu juga tidak makan selama seharian penuh karena ada pantangan amati geni, yakni larangan untuk menyalakan api, terutama untuk memasak.
Walau umat Islam masih diperbolehkan untuk berkativitas seperti biasa saat puasa dan umat Hindu harus melakukan pantangan karya, tapi kedua ibadah ini memiliki relevansi dengan kehidupan masa kini. Relevansi yang sangat bermanfaat, terlebih dengan apa yang sedang terjadi dalam kondisi bangsa dan bernegara.
Tahun politik sedang bersiap menyongsong hajatan besar. Hajatan lima tahun sekali untuk memilih pemimpin bangsa. Jika direnungkan, hajatan ini bermakna sangat besar agar bangsa Indonesia bisa melakukannya dengan baik. Berdemokrasi dan meraih kuasa dengan cara beradab tanpa meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan.
Sayangnya, apa yang diharapkan jauh panggang dari api. Sifat rakus untuk memncapai kuasa benar-benar terlihat nyata. Bukan lagi untuk mempertahankan kehidupannya seperti fitrah manusia, namun cara-cara kebinatanganlah yang seringkali muncul.
Sebaran ujaran kebencian, berita bohong, dan saling sering kerap mendominasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal, dalam konsititusi yang diatur dalam UUD 1945, negara ini benar-benar menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual dan upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lantas, mengapa begitu banyak nilai-nilai kebinatangan yang muncul dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa?