Sejak kepergian nenek tercintanya, anak kecil itu lama tak lagi menginjakkan kaki di kota kelahiran ayahnya itu.
Bukan, bukan karena ia tak mendapat warisan dari sang nenek. Hawa panas Kota Kediri yang dulu menjadi santapan kunjungan wajib kala Idulfitri menjadi alasan utama keengganannya.Â
Ditambah kesibukan pekerjaan yang semakin bertambah, rasanya bertandang ke kota ini laksana mencari daun kering yang tak ada manfaatnya. Ya, tak ada lagi hal menarik yang bisa dilakukan selain berjumpa dengan sang nenek yang selalu menunggunya. Ia selalu disambut aneka kerupuk pasir kesukaannya.
Tapi, di awal musim kemarau tersebut ia seakan rindu dengan kota ini. Entah, apa yang melandasinya meski panas terik akan ia terima. Tetiba saja, ia kangen dengan Kali Brantas yang begitu megah membelah jantung kota ini.Â
Mulanya, ia ingin sekali menuju "Pulau Pisang" yang ada di tengah kali itu. Pulau hasil sedimentasi sungai dengan deretan pohon pisang dan karsen itu seakan melambaikan tangan. Ah, tapi ia berpikir lagi. Untuk apa ia ke sana? Bukankah panas terik akan menghujamnya?
Lantas, ia pun membuka mainan gawainya. Tak lengkap rasanya ia tak bermain dahulu di daerah kota sebelum menuju rumah almarhum neneknya di desa. Kala ia mencari apa yang menarik di kota itu dalam perjalanan kereta Penataran-Dhoho, sebuah ide pun terlintas. Rupanya, ada hutan kota baru di kota tahu ini. Lantas ia berpikir, hutan kota itu ada di sebelah mana? Bukankah kota ini sudah tak punya alun-alun lagi?
Sewaktu ia hampir sampai di Stasiun Kediri, hatinya masih bimbang. Terbersit keraguan apakah hutan ini layak untuk dikunjungi. Bayangan akan panas yang amat sangat membuatnya sedikit gentar. Di tengah keraguan itu, ia kembali tersadar bahwa tak ada salahnya mencoba. Bukankah letaknya di tengah kota dan tak jauh dari pusat peradaban? Untuk apa ia merisaukannya?
Waktu kedatangan kereta lokal di stasiun yang ia tuju pun telah tiba. Sambil menenteng tasnya yang tak begitu berat, ia lantas berjalan cepat menghindari serangan penjaja ojek di depan Stasiun Kediri. Setengah berlari menuju Monumen Panji Asmorobangun, peluh yang mengalir dari dahinya segera ia rasakan. Kota ini benar-benar panas.
Di monumen lambang cinta suci Kerajaan Kediri itu, ia tahu di sanalah tempat yang tepat untuk mencari tumpangan menuju hutan yang ia tuju. Benar saja, penyedia jasa ojek  berbasis gawai bersedia menjemputnya di sana. Ia pun setuju dengan harga 6000 rupiah sebagai ongkos tumpangan.
Butuh waktu sekitar 10 menit untuk tiba di hutan itu. Melewati daerah kota tua Kediri, ia merasa sedang berada di sebuah kota yang unik. Bekas peradaban lama yang entah kenapa tak banyak pelancong datang menghampirinya. Meski, sang pemimpin telah mendengungkan semboyan wisata "Kediri Lagi" untuk menggaet mereka.
Rupanya, hutan yang baru dibangun sekitar tahun 2017 ini terletak cukup tersembunyi. Tak seperti Hutan Kota Malabar di kota kelahirannya Malang, sang paru-paru dunia seakan menjadi pribadi yang pemalu.Â
Tersirap di balik toko-toko yang berjejer di sekitar Jalan Ahmad Yani. Pun demikian dengan gedung sekolah berbasis agama, MAN 2 Kota Kediri yang semakin membuatnya meringkuk seperti malu-malu kucing.
Tapi, apa yang akan ia saksikan bakal menjadi hal yang menakjubkan. Baru saja ia menginjakkan kaki di pintu gerbang hutan kota itu, suasana yang kontras sangat terasa. Tak ada lagi hawa panas yang menyengat. Ditambah, kala ia mulai memasuki area taman bermain dan panggung pertunjukan, rasanya seperti bukan di Kota Kediri.Â
Ia masih ingat dengan "olok-olok" kota ini yang ia tujukan kepada teman bermainnya dulu di sekitar rumah neneknya. Kala ia baru saja bisa membaca, ia sering melihat tulisan "Kediri Bersinar Terang" yang ia artikan Kediri sangatlah panas.
Merasakan sejenak hawa sejuk di sekitar, ajakan bangku bermotif ukiran kayu itu memang benar adanya. Nirwana di tanah Dhaha itu benar-benar ia rasakan. Ah andai saja sang nenek masih hidup, pasti ia akan mengajaknya untuk sejenak duduk di bangku itu. Sembari mendengarkan wejangannya yang baginya cukup unik, ia akan kembali merasakan nostalgia akan kota ini.
Namun di balik itu semua, lampu-lampu taman yang berbaris rapi di sepanjang jalan berpaving telah memberi isyarat bahwa hutan kota itu siap melayani para manusia yang dahaga akan kesegaran hingga malam menjelang.
Semakin hening dan semakin sejuk. Sayang, beberapa nyamuk usil menghampiri wajahnya yang membuatnya tak nyaman. Di saat ia mencari sumber dari datangnya para nyamuk itu, betapa kagetnya kala ia mendapati suatu kenyataan pahit. Hutan kota ini berakhir di tempat pembuangan sampah.
Untung saja, muara dari sumber masalah itu cukup jauh dari fasilitas lain yang bisa ia nikmati. Ia pun masih bersyukur tak diserang oleh para nyamuk itu dengan ganas.Â
Sebagai rasa syukur atas karunia itu, ia lantas mencari Musholla tempatnya mengadu kepada Sang Pencipta. Rumah ibadah itupun segera ia temukan. Dengan kondisi yang masih sepi, ia sangat gembira bisa sejenak melepas penat di sana.
Kala aneka wahana ini benar-benar muncul ke permukaan, ia hanya berharap hutan ini tetap menjadi hutan yang apa adanya. Tanpa banyak dempulan yang berlebihan, hutan kota yang sederhana namun nyaman dikunjungi warganya adalah sebuah karunia.
Ah sayang, waktu telah habis dan ia harus meluncur ke pinggiran kota itu. Semoga kesegaran hutan ini semakin dikenal oleh masyarakat Indonesia dan dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H