Jadi, saya harus mengantre selama hampir sejam untuk naik bianglala yang berputar dengan anggunnya di depan saya.
Kalau sedang tidak dalam menyenangkan hati seorang rekan yang kebetulan berkunjung ke kota dingin ini, saya pasti tak akan berkenan melakukannya. Antrean mengular para pengunjung alun-alun Kota Wisata Batu kala sabtu malam memang luar biasa.Â
Bagai Menara Eiffel, berkunjung ke kota ini kurang mantap jika tak menaiki bianglala dengan tinggi sekitar 60 meter tersebut. Batu pun semakin sesak kala libur panjang menjelang.
Saya masih ingat sekitar 20 tahun lalu, kala duduk di bangku SD tak ada tempat yang menyenangkan di kota ini selain Selecta dan pemandian air panasnya, Songgoriti. Villa-villa memang mulai berjajar indah. Namun, kala itu Batu masih berstatus Kota Administratif. Menurut penuturan guru saya, status ini cukup nanggung. Dibilang kecamatan juga terlalu besar. Dibilang kota mandiri juga belum layak.
Berapa waktu berselang, Batu pun nekat menjadi sebuah kota mandiri yang lepas dari Malang. Tentu, kenekatan ini disertai analisis dari pemangku kepentinga dan para ahli di bidangnya. Saya masih ingat di tahun 2001, semarak pembentukan kota ini pun sangat tampak. Lomba desain logo kota yang memuat kearifan lokal daerah ini pun digelar.Â
Bayangan akan wajah baru sebagai kota otonom yang semakin maju segera tampak. Batu pun akhirya "merdeka" dari Malang. Beberapa rekan dari Batu dengan bangga menyebut "Batu ya Batu, Malang ya Malang" untuk memisahkan terminologi Batu, Malang yang kerap tersemat.
Dengan wajah baru tersebut, pembangunan tempat wisata semakin marak. Jatim Park 1 adalah salah satu tempat wisata yang saya ingat menjadi pelopor dalam pembangunan aneka tempat wisata baru dengan konsep theme park. Selanjutya, tempat wisata baru dengan konsep yang serupa pun bermunculan.
Pengembangan tempat wisata denga fasilitas lengkap terus dilakukan. Persepsi dan harapan konsumen wisata semakin menjadi prioritas dalam pengembangan usaha tersebut. Salah satu cotohnya adalah masalah kebersihan.Â
Tempat-tempat wisata seperti Jatim Park sangat mengutamakan hal ini. Pengunjung tak diperbolehkan untuk membawa makanan dari luar.Â
Dilengkapi fasilitas yang lengkap, tempat wisata ini menjadi tujuan utama meski banyak dibangun tempat wisata baru yang menarik. Perlahan tapi pasti, Batu menjadi kota yang menjelma menyediakan tempat wisata dengan standar tinggi.
Meski melebihi target dari 4,2 juta yang diharapkan, masih belum maksimalnya kunjungan wisatawan asing menjadi pekerjaan rumah yang harus serius digarap oleh pihak terkait.
Selain itu, dengan semakin masifnya kunjungan ke kota ini, maka masalah baru pun muncul. Apalagi kalau bukan masalah kemacetan yang kerap melanda kota ini. Kemacetan yang datang terutama pada akhir pekan atau libur panjang.
Masalah klasik ini juga berimbas kepada dua saudara tuanya, Kota Malang dan Kabupaten Malang ini semakin pelik lantaran Batu tak memiliki jalan lain menuju lokasi wisata yang saling berdekatan.
Ketika penumpukan jumlah wisatawan terjadi, maka kemacetan parah akan berpusat di sekitar lokasi wisata tersebut. Pengunjung dari luar kota yang akan memasuki Batu mendapat efek dari kemacetan tersebut.Â
Ditambah lagi, tak ada transportasi umum yang benar-benar bisa diandalkan membuat tumpukan kendaraan pribadi semakin parah.
Efek kemacetan yang berimbas ke Kota Malang dan Kabupaten Malang juga dirasakan oleh penduduk di kedua daerah itu. Banyak yang beralasan, kemacetan di dua daerah itu juga disumbang dari kemacetan di Kota Batu.Â
Kemajuan Kota Batu yang signifikan akhirnya menjadi momok bagi saudara tuanya. Meski, hal ini tidak sepenuhnya tepat mengingat di dua daerah itu juga kerap mengadakan even di akhir pekan yang juga berujung pada kemacetan.
Namun, tak serta merta pembuatan jalan tembus itu akan berhasil mengurai kemacetan. Selain kurangnya sosialisasi dan arahan kepada wisatawan, kerapkali jalur tembus ini tidak dipilih oleh wisatawan. Alasan yang kerap muncul karena mereka belum menguasai medan jalan yang dianggap terlalu curam.
Salah satu contohnya adalah jalan tembus menuju wisata Paralayang di Gunung Banyak. Jalur curam dari arah kota membuat banyak wisatawan yang memilih memutar menuju Kecamatan Pujon Kabupaten Malang untuk mencapai wisata ini.Â
Apalagi, kurang adanya petugas yang stand by di lokasi jalan tembus membuat wisatawan banyak yang was-was terutama jika musim hujan tiba. Tak hanya itu, lebar jalan yang sempit juga menjadi momok tersendiri. Pengendara harus bergantian dengan pengendara lain kala melewati persimpangan.Â
Rekayasa lalu lintas juga kerap dilakukan oleh pihak kepolisian yang mengatur lalu lintas di titik-titik kemacetan di Kota Batu. Pemberlakuan jalur satu arah dan buka tutup jalan juga menjadi andalan kala Kota Batu diserbu dari berbagai arah.Â
Meski langkah ini cukup bisa mengurai arus lalu lintas, namun tetap saja tak menunjukkan hasil yang memuaskan ketika wisatawan datang atau pergi dari kota ini secara berbarengan.
Kota Batu kerap gagap menghadapi serangan kemacetan ini. Perlu waktu berjam-jam agar wisatawan sampai menuju tempat wisata. Belum lagi, kebuntuan yang kerap melanda di persimpangan jalan membuat kemacetan di kota ini semakin paripurna.Â
Jika sudah begini, niat melepas penat kala berwisata menjadi sesuatu yang menjemukan. Atau, jika boleh meminjam usul teman saya, kala liburan panjang jangan sekali-kali datang ke Kota Batu.
Tak sekedar membangun jalan tembus atau merekayasa arus lalu lintas, masalah kemacetan di Batu juga harus melihat unsur lain pembuat kemacetan lain.Â
Adanya parkir liar dan event yang berbarengan dengan libur panjang juga membuat kota ini semakin macet. Yang unik, ternyata kota ini tidak memiliki kalender wisata khusus yang bisa menjadi salah satu proteksi untuk menghadapi kemacetan.
Event wisata yang periodik memang digelar. Namun, dengan tak adanya kalender wisata, maka pihak penyelenggara kurang bisa mempersiapkan dampak kemacetan yang timbul. Wisatawan yang datang pun tak bisa memperkirakan kapan digelarnya event tersebut.Â
Mereka kerap datang bertepatan dengan kegiatan yang diselenggarakan sehingga kemacetan tak terelakkan. Pun demikian dengan pihak yang membantu penyelenggaraan yang seharusnya bisa turut membantu kelancaran jalannya acara, semisal pengelola hotel, masyarakat desa, dan sebagainya.Â
Mereka akan dapat mempersiapkan jauh-jauh hari sehingga kemacetan parah tak akan terjadi. Wisatawan pun akan takjub dengan gelaran wisata dan menikmati Kota Batu tanpa adaya gangguan kemacetan yag berarti. Untunglah, Pemkot Batu mulai serius mempersiapkan kaleder wisata yang akan dimulai tahun 2019 nanti.
Usia tujuh belas tahun memang masih bisa dibilang sebagai usia menuju kedewasaan. Masih banyak kelabilan yang dimiliki oleh seorang anak kala memasuki usia ini. Namun, usia ini merupakan tanda dimulainya masa dewasa dengan adanya kepemilikan KTP.
Pun demikian dengan Kota Batu yang memasuki usia ketujuhbelas pada hari ini. Semangat menuju kota mandiri yang maju pesat memang mulia.Â
Tapi, dengan semakin dewasanya menyandang status kota mandiri, ketidakstabilan yang kerap disebabkan oleh kemacetan yang kerap melanda haruslah segera dicarikan solusi. Juga, masalah lain yang semakin kompleks beriringan dengan sesaknya kota ini.
Selamat Ulang Tahun Kota Batu.
Let's Shine! teruslah bersinar!
***
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H