Pengembalian ini disebabkan adaya kesalahpahaman yag dilakukan oleh Dinas Pendidikan setempat dalam menjalankan aturan Perbub Nomor 40 tahun 2016.
Di dalam aturan tersebut, ada perbedaan antara uang transportasi dan uang saku. Saat BPK melakukan pengawasan laporan, temuan penyimpangan penggunaan anggaran pun terjadi. Akhirnya, pihak Dinas Pendidikan meminta para guru honorer untuk mengembalikan uang yang sudah mereka terima.Â
Tentu, ribuan guru yang telah menerima uang tersebut menjadi resah. Mereka bingung bagaimana mengembalikan uang sekitar 1,5 juta rupiah. Nominal yag cukup besar bagi guru honorer.
Kesalahan administrasi semacam ini memang kerap terjadi mengingat masalah biaya transportasi kegiatan di sekolah masih bersifat abu-abu. Banyak pelaku kebijakan yang belum paham memetakan kegiatan mana yang boleh dianggarkan untuk biaya transportasi dan mana yang tidak. Tak hanya itu, Â besarnya biaya yang harus dikelurakan pun seringkali tidak jelas.
Kembali ke sekolah, pengelola BOS memang diminta untuk membuat rincian biaya transportasi yang harus dikeluarkan dalam satu tahun di dalam Recana Kerja Anggaran (RKA).Â
Ada kalanya, sekolah kebingungan ketika menganggarkan kegiatan yang pendanaannya masih belum jelas, apakah akan ditanggung pihak Dinas atau pihak sekolah. Salah satu contohnya adalah kegiatan perlombaan/pelatihan, baik yang diikuti guru maupun siswa.
Untuk perlombaan/pelatihan yang biayanya jelas ditanggung oleh sekolah, tentu hal itu tak menjadi masalah. Namun, bagi kegiatan yang biayanya ditanggung oleh pihak lain, seringkali menimbulka masalah. Masalah muncul karena pihak yang mengadakan kegiatan tidak memberikan biaya transportasi kepada peserta kegiatan. Akibatnya, mereka akan meminta biaya transportasi kepada pihak sekolah.
Ketika pihak sekolah mengeluarkan biaya untuk kegiatan transportasi, masalah terkuak ketika proses pelaporan berlangsung. Tim monitoring akan menanyakan dengan detail kegiatan apa yang disebutkan dalam laporan tersebut.Â
Sekolah harus bisa mempertanggungjawabkan penggunaan biaya yang dikeluarkan. Kesalahpahaman pun terjadi ketika sekolah merasa kegiatan tersebut harus mereka tanggung sementara di dalam kegiatan tersebut peserta kegiatan tidak mendapat uang tunai sebagai biaya trasportasi.
Uang tunai yang diberikan untuk transportasi beralih menjadi bentuk barang, semisal tas punggung maupun tas jinjing. Pemberian tas ini seringkali terjadi dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan.Â
Tiap kali mengikuti kegiatan, maka satu tas akan didapat. Tak jarang, siswa dan guru yang mengikuti kegiatan tersebut akan menyimpan tas dalam jumlah banyak yang harga ekuivalen dengan biaya transportasi kegiatan. Bagi guru/siswa yang sering mendapat tugas di luar sekolah, tas-tas itu akan menumpuk dan tak bisa dimanfaatkan dengan maksimal.Â