Konon, saat itu daerah ini merupakan lahan yang sangat subur. Namun sayang, masyarakat di sana tidak mengerti cara mengelola lahan pertanian dan sumber pangan yang hanya berasal dari berburu binatang saja. Ketika ketersediaan hewan mulai amat berkurang, masyarakat mulai beranjak kelaparan.
Melihat contoh burung yang menjatuhkan biji-bijian ke tanah, masyarakat pun mengikutinya. Mereka mulai bercocok tanam dan berhenti memburu hewan. Cerita ini terdapat ornamen candi yang pada setiap sisi-sisinya banyak ditemui relief bergambar tanaman seperti padi, kapas, dan palawija lainnya. Ornamen hewan seperti bulus, gajah, buaya, babi, anjing, dan kuda terbang yang kesemuanya melambangkan kemakmuran juga dapat ditemukan.Â
Sayang, kondisi candi ini cukup memprihatinkan. Hampir semua sudut pada lantai-lantai dalam keadaan rusak. Atap candi juga hilang. Saya juga tak berani menaiki candi karena terlihat ada anak tangga dan masih dilakukan perawatan.
BPP Beji bahkan memiliki suatu program unggulan bernama "kaji terap". Para penyuluh pertanian akan membuat percontohan terlebih dahulu kepada Gapoktan sasaran sampai berhasil.
Jika kaji terap tersebut sudah berhasil, maka bisa disebarkan kepada kelompok-kelompok petani yang lain. Program kaji terap ini dilaksanakan secara berkala setiap tahun.Â
Salah satu metode yang digunakan adalah penggunaan Mesin Tanam Padi. Dengan adanya mesin ini, diharapkan waktu penanaman lebih cepat, penghematan tenaga kerja dan biaya tanam.Â
Keuntungan lainnya jarak tanam dan jumlah bibit per lubang bisa diatur. Nah, dari beberapa desa di Kecamatan Beji, Gapoktan di Desa Gunungsari dan Gunung Gangsir adalah yang cukup berhasil.
Saya cukup salut dengan spirit Mbok Rondo Darmo ini yang masih dilakukan warga sekitar. Bersinergi dengan Kementerian Pertanian, spirit untuk tetap menjaga budaya bertani masih bertahan hingga sekarang.Â