Beberapa menit kemudian, saya sampai di sebuah perempatan. Dari perempatan ini jika mengikuti arahan GPS, harusnya saya berbelok ke arah timur menuju ke arah Bangil. Namun, saya tak menemukan tanda petunjuk arah menuju candi. Saya pun memutuskan untuk mengikuti petunjuk tersebut.Â
Beberapa meter kemudian, tampak sebuah SD Negeri Gunung Gangsir yang berdiri kokoh. Naga-naganya, saya hampir sampai. Motor pun saya pelankan. Sesekali, saya menatap layar ponsel untuk memastikan apakah jalan yang saya lalui benar karena tidak ada satupun petunjuk ke arah candi ini.
Di sebuah gang, ponsel saya menunjukan letak candi yang sudah sangat dekat. Memutuskan masuk ke gang tersebut, saya berharap segera menemukan candi ini. Dan alamak, kejutan pun terjadi.Â
Ada sebuah lintasan kereta api tanpa palang yang menghadang. Hanya ada perintah untuk menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada satupun petugas yang mengatur laku lintas. Menyadari bahaya itu, saya mencoba hati-hati.Â
Rupanya, lintasan kereta api ini adalah petak Bangil-Porong yang saya lalui ketika menaiki Kerata Api Penataran. Setelah berhasil melalui area berbahaya, mata saya langsung berbinar. Candinya sudah terlihat.
Ah, senangnya. Saya segera mencari lokasi parkir motor. Namun, tak ada parkiran motor di sana. Saya lalu mencoba menuju pintu masuk dan ternyata pintunya terkunci rapat. Saya hanya melihat anak-anak bermain di dekat pos jaga candi yang juga terkunci rapat. Lantas, dari mana anak-anak itu bisa masuk?
Saya lalu masuk dan mulai memahami setiap bagian dari candi ini. Meski namanya ada kata gunungnya, namun candi ini tidak terletak di gunung atau di kaki gunung. Candi ini malah terletak di dataran rendah yang cukup dekat dengan laut.
Mengapa harus menggali lubang? Dari literatur yang saya baca, kegiatan "nggangsir" ini dilakukan untuk mencuri benda-benda berharga yang terdapat dalam bangunan candi. Waduh, iya juga sih. Lha dibiarkan terbuka begini.