Para penonton tergelak dengan aksi Bapak-Bapak dan Pemuda yang dengan anggun menari menggunakan baju kebaya dan dengan rambut palsu yang aduhai.
Mereka tampak kompak mengikuti alunan musik rancak yang keluar dari pengeras suara di atas sebuah truk. Terus melangkah dan tersenyum bak para bidadari yang turun dari kahyangan, gerakan gemulai mereka tak henti-hentinya mendapat apresiasi dari sorotan mata dan kamera para pentonton.
Itulah sekilas gambaran salah satu kontingen karnaval kampung dari salah satu RT yang berada di rumah saya. Rombongan tersebut adalah salah satu rombongan dari empat belas RT yang berpartisipasi dalam karnaval RW dalam peringatan HUT RI ke-73 Agustus silam.
Walau mereka tidak melewati rute jalan-jalan poros kota seperti halnya karnaval kota, bukan berarti kehadiran mereka tak ditunggu. Tetap saja, beberapa jam sebelum karnaval dimulai, area jalan-jalan kampung nan sempit yang menjadi rute karnaval telah disesaki warga yang ingin menonton. Selain tak jauh dari rumah mereka, para peserta karnaval yang notabene adalah tetangga maupun anggota keluarga sendiri adalah daya tarik utama karnaval ini.
Biasanya, semua RT menampilkan banyak peserta dengan kreativitas beragam, namun tak jarang pula ada RT yang hanya mengeluarkan anak-anak kecil dalam mobil bak terbuka. Tak mengikutkan orang-orang dewasa yang sesungguhnya menjadi nyawa dari karnaval ini.
Kurangnya antusias beberapa RT pada beberapa karnaval sebelumnya dipengaruhi banyak faktor. Tentu, faktor utamanya adalah kemampuan pemangku RT yang tidak mampu mengorganisasi warganya dengan baik dalam even karnaval ini. Faktor ini juga diikuti dengan karakteristik warga RT yang dipimpinnya.
Kepanitiaan kecil yang mencakup berbagai tugas dan kewajiban pun dibentuk. Ada yang bertugas mencari ide, mencari bahan baku untuk pakaian, lagu yang akan dipakai, dan lain sebagainya.Â
Alasan hanya setahun sekali seringkali menjadi alasan utama tingginya minat warga RT yang antusias seperti ini. Dalam benak mereka, inilah saat yang tepat untuk menunjukkan kekompakan yang ada di lingkungan mereka kepada masyarakat luas.
Namun, ada pula ada RT yang beberapa warganya kurang antusias dalam mengikuti karnaval ini. Bagi mereka, tak ada hal yang bisa diambil dari kegiatan karnaval ini. Karnaval pun dianggap membuang-buang waktu dan tenaga. Lebih baik menonton daripada ikut bagian langsung. Jika mayoritas warga RT tersebut memiliki hal demikian.
Untuk menghindari sanksi administrasi berupa denda uang sebesar beberapa ratus ribu rupiah, akhirnya RT tersebut hanya mengikutsertakan satu dua mobil anak-anak. Sekedar hiburan untuk memotret anak-anak. Warga dewasa hanya mau berada di pinggir panggung.
Mudah dan sulitnya untuk menyatukan warga dalam karnaval juga bermuara pada dana yang digunakan dalam karnaval. Tak ada bantuan dari pemerintah atau perangkat pemerintahan tertinggi, semisal RW atau kelurahan membuat semua RT harus mengumpulkan dana tak sedikit.
Dana ini digunakan untuk berbagai kepentingan, semisal konsumsi, sound system, desain hiasan mobil, dan yang paling banyak adalah dana untuk kostum karnaval. Ada RT yang melakukan tarikan sukarela dari pintu ke pintu untuk mengumpulkan dana. Ada pula yang berusaha mencari sponsor dari luar untuk menyokong kegiatannya.Â
Bagi RT yang sudah memiliki tekad akan tampil all out dalam karnval bahkan sudah melakukan iuran rutin satu tahun sebelumnya. Baik melalui arisan dasawisma/PKK, perkumpulan Bapak-Bapak, maupun karang taruna. Tentu, tarikan ini tak bersifat memberatkan warga karena hanya berkisar 3.000 hingga 10.000 rupiah tiap bulannya, tergantung kebijakan RT masing-masing.
Model penarikan dana seperti itu juga memiliki keunggulan berupa terjaganya transparansi penerimaan dan pengeluaran dana. Secara berkala, perangkat RT akan melaporkan penggunaan dana dan memberi tahu kekurangan dana yang dibutuhkan. Warga yang memiliki kemampuan lebih pun akan memberi sokongan dana untuk menutupi kekurangan tersebut.
Sayang, masih ada saja oknum warga yang memandang sebelah mata dalam proses persiapan karnaval ini. Mereka yang nyinyir dengan usaha perangkat RT dan warga yang antusias juga kerap berseberangan kala masalah dana ini dibahas pada tiap kesempatan. Padahal, segala cara seringkali telah diupayakan perangkat RT agar kampung mereka bisa tampil maksimal dengan kemampuan yang mereka miliki.
Akhirnya, antara RT yang warganya guyub dengan tidak tampak pada hari-H karnaval. Jumlah peserta karnaval yang banyak, tarian peserta yang kompak, hingga desain kendaraan pendukung yang elok membuat penilaian penonton dan warga sekitar tersemat pada RT tersebut. Warga RT pun bangga dengan apa yang mereka tampilkan meski harus berjalan jauh dan mengalami kecapekan yang amat sangat.
Aneka pertanyaan mengenai apa yang terjadi di dalam RT tersebut pun akan mengemuka. Perangkat RT pun akan juga terkena sanksi moral karena sebagai pemimpin dianggap gagal menyatukan warganya.
Apalagi, pada penilaian karnaval tahun ini tidak hanya mencakup aspek hasil kala peserta karnaval, namun proses di dalamnya juga menjadi acuan. Bagaimana mereka mempersiapkan karnaval, mulai merancang kostum, latihan menari, hingga membangun desain mobil juga dinilai oleh tim juri.
Dalam lingkup masyarakat terkecil, semangat ini harus terus terpupuk agar tak tergerus oleh sifat individualisme, terutama bagi warga kampung saya yang berada di tengah kota.
Sekian, salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H