Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Puncak Bahagia di Cakra Manggilingan

8 September 2018   16:37 Diperbarui: 8 September 2018   18:54 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah perdebatan panas itu, akhirnya aku mengalah.

Perdebatan siapa yang salah dan tak akan ada ujung pangkalnya. Iya, ini sedang puncak musim panas. Tapi aku merasa Kota Jogja tak  sepanas biasanya. Atau memang, sensor perasa suhu di indra perabaku  sudah rusak. Entahlah. Yang jelas, aku tak mau banyak berdebat. Hanya  ingin bersamamu sehari penuh ini saja.

Aku sempat ragu kala membawamu ke batas Kota Jogja. Memasuki tanah Sleman Sembada tempat bersemayamnya keagungan Merapi, tak ada satupun pemikiran untuk membawamu ke suatu tempat yang menurtku menyenangkan. Kupelankan laju  motor tua ini sembari berpikir ke mana kita akan berlabuh sementara waktu.

Jalanan yang kita lalui semakin sepi. Hanya beberapa orang bergerombol  menunggu pesanan cahkwe. Di Jalan yang baru kuketahui bernama Jambon itu tak ada ada yang spesial. Sejenak tersirat untuk memarkir saja motor ini  di warung kecil. Tapi, kala eratan tanganmu mencengkeram kuat ke pinggangku, bisakah aku melakukan itu?

Di tengah kegamangan dan asa yang semakin menipis, aku melihat kerlip benda yang bergerak nun jauh di sana. Ah, mungkin itu hanya fatamorgana. Tapi, semakin kudekati benda itu, kini tampak jelas obyek yang tak kuduga sebelumnya.  Sebuah bianglala besar yang begitu cantik meluik diselingi lampu berpendar di tengah temaram senja yang elok.

Aku tak tahu apa ini yang disebut Pasar Malam. Bukan, ini bukan Pasar  Malam. Ataupun Royal kala Pabrik Gula memulai aktivitasnya. Tak kulihat pedagang jagung bakar atau cindera mata di sana. Tak tampak pula deru  genset yang seharusnya berlomba berdegup keras. Sekeras jantungku kala melihatmu masih saja bermuram durja. Baik, aku mengerti aku salah tak  memberimu kabar kedatanganku tempo hari. Tapi, sungguh tak elok engkau melakukannya. Atau terserahlah jika itu memang yang kau inginkan.

Bianglala itu terperangkap dalam ruangan yang sangat luas. Kata  terperangkap rasanya tak elok kuucapkan. Karena ia tak sepertiku yang terperangkap dalam egomu. Ia sangat menikmati tariannya dikelilingi  remang-remang lampu taman yang menyala.

Akhirnya kuputuskan untuk membawamu ke sini saja. Tak kupikirkan lagi  apakah engkau akan suka. Biarlah, itu sudah jadi kehendakmu. Setidaknya, aku sudah berusaha. Kuparkir motor di lapangan yang juga sepi. Rupanya Engkau  masih bergeming dan tetap mendekapku. 

Kumohon, lepaskan aku. Berilah aku sebuah kesempatan untuk memperbaiki  kesalahan. Aku tak ingin liburan musim panas ini menjadi berantakan begini. Karena kesalahan sepele yang sesungguhnya tak pantas untuk  diperdebatkan.

Aku menunggumu untuk bergerak. Tak apa jika sampai waktu yang tak kuketahui. Gerakanmu sudah memberi tanda kau memberi maaf.

Aku bisa merasakan gerakan tanganmu. Bergerak tak lagi mendekapku erat.  Sejenak kemudian, apa yang kuharapkan pun terwujud. Kau turun dari motor. Kuikuti saja gerakan tubuhmu. Lalu, segera kurapikan benda itu dan perlahan mendekatimu. Kuberikan  tangan kananku. Sekali lagi, kuharap engkau mau menerima uluran tangaku  itu. Dan, kaupun menerimanya.

Sudah, kuanggap tak ada lagi cemas yang bisa bersemayam di hatiku. Yang  ada, hanya harapan kau bisa terseyum lagi. Sayang, itu tak mudah terwujud. Kau masih memasang muka masam itu.

Berjalan menuju loket serasa berjalan di karpet merah nanti. Sebuah awal  yang terasa berat untuk membimbingmu. Memecahkan persoalan sederhana  ini saja aku masih terengah.

"Tujuh belas ribu!" jawaban singkat dari petugas loket kini menjadi pusat perhatianku.

Selepas membayar uang tiket itu, aku menggandengmu untuk masuk.

Tak kusangka, pendar lampu menyambut kita walau masih malu-malu. Ini  masih sore. Mereka tak akan berani memancarkan sinarnya. Sebelum, sang  surya kembali ke peraduannya.

Walau masih malu-malu, aku yakin mereka akan indah pada waktunya. Sama  halnya dengan hubungan kita. Entah apa yang akan kita hadapi nanti. Yang  jelas, tarian bianglala membuatku semangat untuk segera mengajakmu ke  puncak kebahagiaan itu.

Sungguh, apapun akan kulakukan untuk membahagiakanmu. - Dokumen Pribadi.
Sungguh, apapun akan kulakukan untuk membahagiakanmu. - Dokumen Pribadi.
Tapi, rupanya kau masih belum menggapai puncak itu terlalu cepat. Kau menggeleng kala kuajak ke puncak kebahagiaan itu. Entah apa yang  masih mengganjal di pikiranmu. Bukankah aku sudah meyakinkanmu bisa mengantarkanmu ke sana? Atau kau masih meragukanku?

Tak apa. Aku masih bisa menerimanya. Mungkin kita perlu merasakan  kebahagiaan-kebahagiaan kecil dahulu. Wahana-wahana yang mulai menggeliat kita susuri. Kau kuberi pilihan untuk merasakan  kebahagiaan-kebahagiaan itu.

Kumulai dari "Sepeda Mabur". Kutawarkan untuk mengayuh  bersama sepeda di awang-awang. Kurasa, kita akan mendapat kebahagiaan  itu. Tapi ternyata kau menggeleng. Kau bilang itu terlalu berisiko. Kau  tak yakin aku bisa mendampingimu dengan baik. Sekali lagi kuanggap ini  bukan penghinaan. Memang kuakui aku sedikit gugup jika berada pada  posisi bahagia itu.

Sepeda Mabur. - Dokumen Pribadi.
Sepeda Mabur. - Dokumen Pribadi.
Lalu, tiba-tiba kau mengajakku ke wahana "House of Terror". Dari  namanya, aku sudah tak suka dengan tempat ini. Jeritan kengerian,  kepiluan, dan segala hal buruk lain bersinergi. 

Bergabung menjadi satu  seakan menguliti siapa saja yang masuk ke dalamnya. Itu pasti bukan  sebagai kebahagiaan. Tapi puncak kesedihan dari segala hal pilu yang  kini mulai melandaku. Kau tahu apa sebabnya? Kau belum memutuskan untuk  mencapai puncak kebahagiaan itu. Padahal, aku butuh jawaban itu segera.

Namun, kau hanya mengulur waktu. Mengajakku berkeliling dari satu wahana  kehidupan ke wahana kehidupan lain. Kau masih bimbang untuk mencari  wahana kebahagiaan yang paripurna. Baik, aku masih bersabar. Kuanggap keputusanmu itu realistis.

Kala kau mendekati "Panggon Lanjak", kuturuti kemauanmu.  Hingga kau tak jadi memilih wahana trompolin itu, aku masih mencoba  sabar dengan kegamanganmu. Kau beralasan, kebahagiaan di sana seperti  trompolin yang tak akan paripurna. Memantul dan hanya sementara. Belum lagi, kita akan terpenjara dalam tali temali yang membelenggu raga.

Panggon Lonjak. - Dokumen Pribadi.
Panggon Lonjak. - Dokumen Pribadi.
Kau masih bimbang menemukan kebahagiaan itu. Kala kau lihat lampion yang  berkelap-kerlip, sesungguhnya kau juga menyimpan keinginan. Tapi ketika kugelengkan kepalaku, kau sudah tahu bahwa aku pasti menolaknya. Kebahagiaan ini terlalu mahal.

Dokumen Pribadi.
Dokumen Pribadi.
Untunglah kaupun mengerti. Ah, aku sudah tak sabar. Dengan segera,  kutunjukkan dua tiket untuk mencapai puncak kebahagiaan itu. Kudapat  gratis kala kubeli tiket masuk tadi. Aku sengaja menyimpan kebahagiaan  ini karena ternyata tempat ini sedang melakukan promo kebahagiaan. Kebahagiaan paripurna di atas "Cakra Manggilingan". Ya, kita akan menaiki wahana kebahagiaan itu.

Menuju puncak kebahagiaan. - Dokumen Pribadi.
Menuju puncak kebahagiaan. - Dokumen Pribadi.
Kini, kulihat senyum menungging di wajahmu. Seakan berpacu dengan waktu,  aku segera menarikmu dan berlari menuju wahana itu. Aku tahu ini saatnya yang tepat untuk membahagianmu. Bukan, ini hanya permulaan.

Kebahagiaan yang semakin dekat. - Dokumen Pribadi.
Kebahagiaan yang semakin dekat. - Dokumen Pribadi.
Segera saja kuajak kau masuk dalam ruangan sempit di dalam sebuah  kapsul. Ruangan yang akan kita gunakan bersama nanti. Di balik kaca, kau mulai terlihat bersemangat. Apalagi, kala kapsul itu bergerak naik. Kau  semakin berseri.

Semburat jingga yang semakin pekat menjadikan kebahagiaan kita semakin  mendekati puncak. Tak lama, kala Merapi yang gagah tampak dengan jelas  di depan mata, aku segera melakukan keputusan nekat itu. Mengajakmu berbahagia di puncak paripurna.

Kapsul bianglala sedang menuju puncak. Kurasa itu waktu yang tepat.

Kugenggam lagi tanganmu. Kusibak rambutmu yang mulai basah oleh keringat. Kusampaikan maksudku. Sungguh, ini bukan perkerjaan mudah kala kuraih logika matematika dengan sempurna. 

Ah, inilah saat yang tepat. - Dokumen Pribadi.
Ah, inilah saat yang tepat. - Dokumen Pribadi.
Merapi pun meyaksikan kebagahiaan kita. - Dokumen Pribadi.
Merapi pun meyaksikan kebagahiaan kita. - Dokumen Pribadi.
Aku tahu jalan kita masih panjang dan berwarna. Tapi yang jelas aku bahagia! - Dokumen Pribadi.
Aku tahu jalan kita masih panjang dan berwarna. Tapi yang jelas aku bahagia! - Dokumen Pribadi.
Satu dua menit terasa lama. Selama ritme Cakra Manggala mendaki puncak dengan perlahan. Tetiba, tak sangka kau mengangguk. Ah, rasanya aku tak bisa berbuat banyak  selain memelukmu. 

Dan kala kapsul bianglala ini mulai turun, senyum  masih terus telukis di wajahmu. Kuanggap ini sebagai kode kala kau  bersedia bersamaku. Saat aku berada di puncak atau saat aku terhempas ke  bawah. Walau sangat bahagia, aku masih meyimpan sedikit penyesalan. 

Maafkan aku, musim panas. Aku hanya bisa membawamu ke SKE Jogja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun