Sudah, kuanggap tak ada lagi cemas yang bisa bersemayam di hatiku. Yang  ada, hanya harapan kau bisa terseyum lagi. Sayang, itu tak mudah terwujud. Kau masih memasang muka masam itu.
Berjalan menuju loket serasa berjalan di karpet merah nanti. Sebuah awal  yang terasa berat untuk membimbingmu. Memecahkan persoalan sederhana  ini saja aku masih terengah.
"Tujuh belas ribu!" jawaban singkat dari petugas loket kini menjadi pusat perhatianku.
Selepas membayar uang tiket itu, aku menggandengmu untuk masuk.
Tak kusangka, pendar lampu menyambut kita walau masih malu-malu. Ini  masih sore. Mereka tak akan berani memancarkan sinarnya. Sebelum, sang  surya kembali ke peraduannya.
Walau masih malu-malu, aku yakin mereka akan indah pada waktunya. Sama  halnya dengan hubungan kita. Entah apa yang akan kita hadapi nanti. Yang  jelas, tarian bianglala membuatku semangat untuk segera mengajakmu ke  puncak kebahagiaan itu.
Tak apa. Aku masih bisa menerimanya. Mungkin kita perlu merasakan  kebahagiaan-kebahagiaan kecil dahulu. Wahana-wahana yang mulai menggeliat kita susuri. Kau kuberi pilihan untuk merasakan  kebahagiaan-kebahagiaan itu.
Kumulai dari "Sepeda Mabur". Kutawarkan untuk mengayuh  bersama sepeda di awang-awang. Kurasa, kita akan mendapat kebahagiaan  itu. Tapi ternyata kau menggeleng. Kau bilang itu terlalu berisiko. Kau  tak yakin aku bisa mendampingimu dengan baik. Sekali lagi kuanggap ini  bukan penghinaan. Memang kuakui aku sedikit gugup jika berada pada  posisi bahagia itu.
Bergabung menjadi satu  seakan menguliti siapa saja yang masuk ke dalamnya. Itu pasti bukan  sebagai kebahagiaan. Tapi puncak kesedihan dari segala hal pilu yang  kini mulai melandaku. Kau tahu apa sebabnya? Kau belum memutuskan untuk  mencapai puncak kebahagiaan itu. Padahal, aku butuh jawaban itu segera.