Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Puncak Bahagia di Cakra Manggilingan

8 September 2018   16:37 Diperbarui: 8 September 2018   18:54 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ah, inilah saat yang tepat. - Dokumen Pribadi.

Sudah, kuanggap tak ada lagi cemas yang bisa bersemayam di hatiku. Yang  ada, hanya harapan kau bisa terseyum lagi. Sayang, itu tak mudah terwujud. Kau masih memasang muka masam itu.

Berjalan menuju loket serasa berjalan di karpet merah nanti. Sebuah awal  yang terasa berat untuk membimbingmu. Memecahkan persoalan sederhana  ini saja aku masih terengah.

"Tujuh belas ribu!" jawaban singkat dari petugas loket kini menjadi pusat perhatianku.

Selepas membayar uang tiket itu, aku menggandengmu untuk masuk.

Tak kusangka, pendar lampu menyambut kita walau masih malu-malu. Ini  masih sore. Mereka tak akan berani memancarkan sinarnya. Sebelum, sang  surya kembali ke peraduannya.

Walau masih malu-malu, aku yakin mereka akan indah pada waktunya. Sama  halnya dengan hubungan kita. Entah apa yang akan kita hadapi nanti. Yang  jelas, tarian bianglala membuatku semangat untuk segera mengajakmu ke  puncak kebahagiaan itu.

Sungguh, apapun akan kulakukan untuk membahagiakanmu. - Dokumen Pribadi.
Sungguh, apapun akan kulakukan untuk membahagiakanmu. - Dokumen Pribadi.
Tapi, rupanya kau masih belum menggapai puncak itu terlalu cepat. Kau menggeleng kala kuajak ke puncak kebahagiaan itu. Entah apa yang  masih mengganjal di pikiranmu. Bukankah aku sudah meyakinkanmu bisa mengantarkanmu ke sana? Atau kau masih meragukanku?

Tak apa. Aku masih bisa menerimanya. Mungkin kita perlu merasakan  kebahagiaan-kebahagiaan kecil dahulu. Wahana-wahana yang mulai menggeliat kita susuri. Kau kuberi pilihan untuk merasakan  kebahagiaan-kebahagiaan itu.

Kumulai dari "Sepeda Mabur". Kutawarkan untuk mengayuh  bersama sepeda di awang-awang. Kurasa, kita akan mendapat kebahagiaan  itu. Tapi ternyata kau menggeleng. Kau bilang itu terlalu berisiko. Kau  tak yakin aku bisa mendampingimu dengan baik. Sekali lagi kuanggap ini  bukan penghinaan. Memang kuakui aku sedikit gugup jika berada pada  posisi bahagia itu.

Sepeda Mabur. - Dokumen Pribadi.
Sepeda Mabur. - Dokumen Pribadi.
Lalu, tiba-tiba kau mengajakku ke wahana "House of Terror". Dari  namanya, aku sudah tak suka dengan tempat ini. Jeritan kengerian,  kepiluan, dan segala hal buruk lain bersinergi. 

Bergabung menjadi satu  seakan menguliti siapa saja yang masuk ke dalamnya. Itu pasti bukan  sebagai kebahagiaan. Tapi puncak kesedihan dari segala hal pilu yang  kini mulai melandaku. Kau tahu apa sebabnya? Kau belum memutuskan untuk  mencapai puncak kebahagiaan itu. Padahal, aku butuh jawaban itu segera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun