Di suatu sudut Kota Semarang, saya menemukan sebuah keteduhan yang bagi saya cukup langka setelah menjelajahi kota ini selama setengah sehari.
Keteduhan ini saya temukan di sepanjang Jalan dr. Soetomo yang berbando pohon rindang di kiri kanan jalan. Jajaran floris yang seolah melambaikan tangannya agar saya sejenak datang ke arahnya membuat saya tak bisa berkutik lagi untuk mempercepat langkah saya dari salah satu halte Trans Semarang.
Ah sayang, saya sedang tidak berminat untuk memberi karangan bunga. Tak ada sanak yang meninggal atau bahkan rekan yang sedang berpesta pora. Namun, saya tiba-tiba tergelitik untuk menuju sesuatu di balik jajaran floris tersebut.
Saya melihat rangkaian rumah yang berwarna-warni berjajar ke atas dan dibatasi oleh sebuah sungai kecil di depannya. Inilah tempat wisata yang cukup terkenal di kota ini. Apalagi, kalau bukan Kampung Pelangi Semarang.
Hamparan payung yang menaungi kepala saya akhirnya semakin meluluhkan hati saya agar segera merangkak naik dan menikmati jengkal demi jengkal kampung ini.
Semakin ke atas, suasana semakin sepi. Bahkan, suasana sepi ini sudah saya rasakan di sekitar pintu masuk kampung ini. Entah waktu kunjungan saya yang salah, namun saya sedikit membandingkan dengan KWJ yang masih saja ramai walau matahari semakin terik. Ditambah dengan waktu kunjungan saya yang tepat pada hari libur, seharusnya banyak pengunjung datang di hari spesial itu.
Namun, pemandangan yang saya dapat di loteng sederhana itu tak kalah dengan rooftop hotel bintang lima. Kepadatan lalu lintas di arah utara bisa saya saksikan. Kawasan yang dikenal dengan Kota Bawah Semarang itu tampak ramai lancar. Gedung-gedung pencakar langit cukup rimbun yang berpadu dengan bangunan lama yang tampak samar-samar. Pun demikian dengan pemandangan di arah selatan. Lalu lintas juga merayap yang saya duga merupakan para pengendara yang datang dari kota-kota di selatan Jawa Tengah.Â
Rangkaian perbukitan hijau yang seakan memanggil saya juga tampak jelas di depan mata. Saya bisa menduga, nun jauh di sana terdapat Bukit Gombel yang terkenal angker oleh masyarakat sekitar. Bukit yang memiliki sebuah tanjakan ekstrem ini dikenal sebagai penghubung antara Semarang atas dengan Semarang Bawah.Â
Di bagian selatan ini pula, saya juga bisa melihat geliat pembangunan gedung pencakar langit. Artinya, kedua daerah ini sama-sama melaju kencang untuk menjadikan Kota Semarang menjadi satu kesatuan tanpa disparitas yang menganga.
Entah, mengapa warna kampung ini mulai memudar, saya tak tahu alasan utamanya. Apa karena tak ada tiket masuk sehingga warga kekurangan dana atau apa, saya hanya bisa menerka. Pudarnya warna juga tampak pada beberapa tembok rumah warga yang dilukis sebelumnya. Hanya pada sekitar pintu masuk warna-warni pelangi yang tampak meriah. Semakin ke atas, warna itu semakin pudar.
Maka dari itu, sesekali saya bertemu dengan wistawan lokal lain yang saling bertanya, akan ada apa di jalan menuju puncak. Atau, sebagian lagi bingung ke mana arah menuju toilet, pintu keluar, dan tempat-tempat menarik lainnya.
Kijing makam muslim berselang-seling dengan indahnya dengan tanda salib yang menandakan bahwa makam tersebut diistirahatkan pemeluk nasrani. Ternyata, inilah makna dari pelangi itu. Aneka warna yang berbeda dan berpadu dalam pesan kematian.
Sejak diwarnai pada 2017 lalu, kampung ini memang menarik perhatian dunia. Kampung yang kumuh memang telah berubah warna. Namun sayang, andaikata warna dari kampung pelangi ini mulai memudar dan akan hilang dengan bergulirnya waktu.Â
Ketika saya melihat banner bertuliskan Lapor Mas Hendi, sang walikota Semarang, mungkin ini yang bisa saya laporkan mengenai salah satu sudut kotamu, Mas. Sudut yang berharga, namun sayang tanda-tanda untuk meredup itu mulai tampak. Tapi, saya masih bisa berteriak kepada dunia bahwa kampung ini layak dikunjungi.
Teriakan itu yang bisa saya suarakan sambil melihat Semarang atas dan Semarang bawah dari kejauhan. Memaknai hubungan toleransi antar umat beragama dan konektivitas dua daerah yang berbeda kontur tanah. Hubungan yang harmoni dalam gambaran sebuah pelangi yang indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H