Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Warna Kampung Pelangi Semarang yang Memudar

13 Mei 2018   09:10 Diperbarui: 13 Mei 2018   12:20 2981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan di kampung yang sepi, - Dokumen Pribadi.

Di suatu sudut Kota Semarang, saya menemukan sebuah keteduhan yang bagi saya cukup langka setelah menjelajahi kota ini selama setengah sehari.

Keteduhan ini saya temukan di sepanjang Jalan dr. Soetomo yang berbando pohon rindang di kiri kanan jalan. Jajaran floris yang seolah melambaikan tangannya agar saya sejenak datang ke arahnya membuat saya tak bisa berkutik lagi untuk mempercepat langkah saya dari salah satu halte Trans Semarang.

Ah sayang, saya sedang tidak berminat untuk memberi karangan bunga. Tak ada sanak yang meninggal atau bahkan rekan yang sedang berpesta pora. Namun, saya tiba-tiba tergelitik untuk menuju sesuatu di balik jajaran floris tersebut.

Saya melihat rangkaian rumah yang berwarna-warni berjajar ke atas dan dibatasi oleh sebuah sungai kecil di depannya. Inilah tempat wisata yang cukup terkenal di kota ini. Apalagi, kalau bukan Kampung Pelangi Semarang.

Sungai yang memagari kampung dan rangkaian toko bunga di tepinya. - Dokumen Pribadi,
Sungai yang memagari kampung dan rangkaian toko bunga di tepinya. - Dokumen Pribadi,
Ya, saya sejenak melupakan keadaan bahwa saya sedang jalan-jalan di Kota Semarang. Saya seperti berada di kampung halaman, Kota Malang yang identik dengan Kampung Warna-Warni Jodipan (KWJ). Lapisan rumah pada perkampungan padat penduduk, aliran sungai di dekatnya, serta topografi ledok membuat saya semakin mendapatkan suasana Jodipanese, sebutan bagi teritorial KWJ. 

Hamparan payung yang menaungi kepala saya akhirnya semakin meluluhkan hati saya agar segera merangkak naik dan menikmati jengkal demi jengkal kampung ini.

Pernak-pernik payung dan kerajinan lainnya.- Dokumen Pribadi.
Pernak-pernik payung dan kerajinan lainnya.- Dokumen Pribadi.
Beberapa warga dengan dialek Semarang menyapa saya dan mempersilahkan saya untuk menikmati keindahan  kampung mereka. Tak ada karcis masuk untuk membayar aneka pemandangan itu. Sesekali, langkah saya terhenti oleh ulah anak-anak seusia kepala dua awal yang berpose dalam rangka berproses untuk menjadi artis di dunia maya. Jepretan demi jepretan mereka rekam agar ketika nanti di usia kepala empat atau lima, mereka bisa mengenangnya melalui aplikasi yang entah apa namanya kelak.

Sepeda yang menjadi spot favorit di Kampung Pelangi, - Dokumen Pribadi
Sepeda yang menjadi spot favorit di Kampung Pelangi, - Dokumen Pribadi
Di awal perjalanan menanjaki kampung ini, saya masih bisa bernafas dengan cukup normal. Namun, dengan bertambahnya elevasi kampung yang semakin ekstrem dengan sudut hampir mendekati siku-siku, nafas saya mulai tersengal. Kondisi semakin rumit dengan kurangnya pegangan yang tersedia di sekitar anak tangga.

Semakin ke atas, suasana semakin sepi. Bahkan, suasana sepi ini sudah saya rasakan di sekitar pintu masuk kampung ini. Entah waktu kunjungan saya yang salah, namun saya sedikit membandingkan dengan KWJ yang masih saja ramai walau matahari semakin terik. Ditambah dengan waktu kunjungan saya yang tepat pada hari libur, seharusnya banyak pengunjung datang di hari spesial itu.

Tangga naik yang curam. - Dokumen Pribadi.
Tangga naik yang curam. - Dokumen Pribadi.
Setelah menaiki beberapa anak tangga, saya berkesempatan memasuki sebuah loteng kosong milik warga. Seorang bapak paruh baya tersebut mempersilahkan saya untuk sejenak mengambil gambar dari loteng tersebut. Rumah itu sebenarnya masih belum jadi. Hanya sebuah kursi sofa di pelataran loteng yang sudah lapuk dan bisa dijadikan tempat untuk istrahat sementara.

Namun, pemandangan yang saya dapat di loteng sederhana itu tak kalah dengan rooftop hotel bintang lima. Kepadatan lalu lintas di arah utara bisa saya saksikan. Kawasan yang dikenal dengan Kota Bawah Semarang itu tampak ramai lancar. Gedung-gedung pencakar langit cukup rimbun yang berpadu dengan bangunan lama yang tampak samar-samar. Pun demikian dengan pemandangan di arah selatan. Lalu lintas juga merayap yang saya duga merupakan para pengendara yang datang dari kota-kota di selatan Jawa Tengah. 

Rangkaian perbukitan hijau yang seakan memanggil saya juga tampak jelas di depan mata. Saya bisa menduga, nun jauh di sana terdapat Bukit Gombel yang terkenal angker oleh masyarakat sekitar. Bukit yang memiliki sebuah tanjakan ekstrem ini dikenal sebagai penghubung antara Semarang atas dengan Semarang Bawah. 

Di bagian selatan ini pula, saya juga bisa melihat geliat pembangunan gedung pencakar langit. Artinya, kedua daerah ini sama-sama melaju kencang untuk menjadikan Kota Semarang menjadi satu kesatuan tanpa disparitas yang menganga.

Pemandangan Kota Semarang dari atas Kampung Pelangi. - Dokumen Pribadi.
Pemandangan Kota Semarang dari atas Kampung Pelangi. - Dokumen Pribadi.
Sayang, ketika saya menengok lebih dekat ke bawah, tampak warna atap rumah-rumah di Kampung Pelangi ini mulai pudar. Tak jelas lagi perbedaan warna seperti pelangi yang seharusnya menjadi ciri khas dari kampung ini. Beberapa atap rumah bahkan sudah berganti warna menjadi merah bata, khas warna genting. Bak judul dari Rosa, mereka sudah pudar. 

Entah, mengapa warna kampung ini mulai memudar, saya tak tahu alasan utamanya. Apa karena tak ada tiket masuk sehingga warga kekurangan dana atau apa, saya hanya bisa menerka. Pudarnya warna juga tampak pada beberapa tembok rumah warga yang dilukis sebelumnya. Hanya pada sekitar pintu masuk warna-warni pelangi yang tampak meriah. Semakin ke atas, warna itu semakin pudar.

Warna rumah-rumah yang memudar. - Dokumen Pribadi.
Warna rumah-rumah yang memudar. - Dokumen Pribadi.
Di balik semua itu, satu hal yang cukup saya sayangkan adalah kurangnya petunjuk informasi mengenai spot-spot menarik di kampung tersebut. Saya membandingkan dengan Kampung 3D Ksatrian yang memuat petunjuk arah menuju spot-spot tertentu sehingga pengunjung dimudahkan untuk menjelajahi jengkal demi jengkal perkampungan padat penduduk tersebut. 

Maka dari itu, sesekali saya bertemu dengan wistawan lokal lain yang saling bertanya, akan ada apa di jalan menuju puncak. Atau, sebagian lagi bingung ke mana arah menuju toilet, pintu keluar, dan tempat-tempat menarik lainnya.

Beberapa warga berdagang untuk keperluan wisatawan hanya jumlahnya tak terlalu banyak. - Dokumen Pribadi.
Beberapa warga berdagang untuk keperluan wisatawan hanya jumlahnya tak terlalu banyak. - Dokumen Pribadi.
Akhirnya, dengan sisa tenaga yang masih menempel di badan, saya mencoba menaiki tangga lagi untuk mencari tahu ada apa di puncak bukit dari kampung ini. Setelah bersusah payah, saya mendapat sebuah kejutan. Puncak dari kampung ini yang merupakan terminasinya adalah sebuah makam umum. Yang unik, makam ini merupakan makam campuran antara makam muslim dan makam nasrani. 

Kijing makam muslim berselang-seling dengan indahnya dengan tanda salib yang menandakan bahwa makam tersebut diistirahatkan pemeluk nasrani. Ternyata, inilah makna dari pelangi itu. Aneka warna yang berbeda dan berpadu dalam pesan kematian.

Makam di puncak bukit. - Dokumen Pribadi.
Makam di puncak bukit. - Dokumen Pribadi.
Jujur, saya tak merakan keangkeran dari makam yang bernama TPU Bergota itu. Entah karena saat itu hari sedang terik namun karena saya masih bertemu dengan beberapa pengunjung makam yang sedang nyekar. Tapi yang jelas, pesan toleransi yang diibaratkan seperti sebuah pelangi itu cukup mengena di hati saya.

Sejak diwarnai pada 2017 lalu, kampung ini memang menarik perhatian dunia. Kampung yang kumuh memang telah berubah warna. Namun sayang, andaikata warna dari kampung pelangi ini mulai memudar dan akan hilang dengan bergulirnya waktu. 

Ketika saya melihat banner bertuliskan Lapor Mas Hendi, sang walikota Semarang, mungkin ini yang bisa saya laporkan mengenai salah satu sudut kotamu, Mas. Sudut yang berharga, namun sayang tanda-tanda untuk meredup itu mulai tampak. Tapi, saya masih bisa berteriak kepada dunia bahwa kampung ini layak dikunjungi.

Jalan di kampung yang sepi, - Dokumen Pribadi.
Jalan di kampung yang sepi, - Dokumen Pribadi.
"Apik, ik!"

Teriakan itu yang bisa saya suarakan sambil melihat Semarang atas dan Semarang bawah dari kejauhan. Memaknai hubungan toleransi antar umat beragama dan konektivitas dua daerah yang berbeda kontur tanah. Hubungan yang harmoni dalam gambaran sebuah pelangi yang indah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun