Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Seberapa Nyaman "Hati Makanan" di Jogja?

5 Mei 2018   20:27 Diperbarui: 5 Mei 2018   21:28 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua orang turis asing sedang berjalan di sekitar Tugu Golog Gilig Jogja. Jogja Istimewa tetap jadi jujugan wisata utama. - Dokumen Pribadi.

"Berapa, Bu?", tanya saya kepada seorang ibu penjual nasi di sekitar Blok O (RS Harjolukito) yang dekat dengan kosan saya.

"Lima ribu mas", jawab sang Ibu.

Saya terbelalak. Remah-remah makanan yang sudah jadi bubur di lambung berasa ingin kembali ke esofagus. "Tadi nasi saya banyak loh, Bu. Sayurnya juga. Tempenya juga. Belum sama teh hangat."

Saya masih sedikit shock.

"Iya mas. Lima ribu. Kan nasinya 2000, sayur 1000, tempenya satu biji lima ratus jadinya seribu kalau dua biji. Teh hangatnya seribu", sahut Ibu itu menjelaskan dengan detail invoice yang harus saya bayarkan.

Saya masih seperti mimpi. Ya Tuhan. Anugerah apa yang kau berikan padaku ?

Percakapan antara saya dengan pemilik warung tersebut masih terngiang di kepala saya saat pertama kali menginjakan kaki di Yogyakarta dan tinggal untuk jangka waktu lama. Lima ribu gitu? Sehari 15 ribu? Sebulan (bisa) 450 ribu? Nasi ambil sendiri?

Sarapan pagi saya seharga 5 ribu rupiah. - Dokumentasi Pribadi.
Sarapan pagi saya seharga 5 ribu rupiah. - Dokumentasi Pribadi.
Refleks, otak saya bekerja dan mulai mengirim pesan, "Anggaran dana sebulan bla bla bla". Menteri Keuangan di kepala saya meramaikan rapat kabinet. Mendapat angin segar berupa kata-kata ibu pemilik warung tadi, membuat RAPBN menjadi gagal didok. Pos untuk makan akan bisa teralihkan untuk...... jalan-jalan. Hore.....

Saya masih belum yakin akan sebuah fakta tadi. Ilusi semu masih membayangi saya. Jangan-jangan memang hanya warung tadi yang memang murah. Kalau saya tak makan di warung tersebut, lantas apakah saya akan menemukan harga serupa di warung lainnya? Apakah ini tagline Berhati Nyaman yang tersemat untuk Kota Jogja terbukti meski secara teritorial saya tinggal di Bantul?

Rupanya, jawaban yang tepat adalah tergantung di mana kita akan makan. Kalau kita makan di spot-spot yang maharani alias malah jaya, ya fakta tadi akan salah besar. Di kota manapun, makanan cepat saji kelas atas tetaplah mahal, di atas 20.000. Harganya sama. Di kota manapun juga, harga makanan kelas menengah, semisal warung penyetan dan segala macam sambal itu, juga hampir sama. Di kisaran antara 10.000 hingga 20.000 rupiah ke atas tiap kali makan.

Makanan favorit saya, tempe bacem - Dokumen Pribadi.
Makanan favorit saya, tempe bacem - Dokumen Pribadi.
Nah yang membedakan Yogyakarta dengan kota kelahiran saya adalah harga makanan di warung-warung kecil di pinggir jalan. Kalau di kota saya, paling tidak untuk satu kali makan dengan menu yang saya sebutkan tadi bisa mencapai 10.000 hingga 12.000 rupiah. Bahkan di beberapa tempat malah bisa mencapai 15 ribu rupiah.

Makanya, mata saya cukup terbelalak. Lima ribu rupiah hanya dapat segelas teh dan sedikit gorengan kalau dibelanjakan di kota saya, Malang.

Saya lalu mendapati fakta lain. Murahnya makanan di Jogja rupanya juga terjadi di Rumah Makan Padang. Rumah makan yang sudah ada di mana-mana ini kembali membuat mata saya terbelalak. Entah ini hanya karena kebetulan atau tidak, namun harga satu paket ayam RM Padang di Jogja lebih murah dibandingkan di Malang. Kalau di Malang, harganya sekitar 12.000 hingga 15.000.

Kalau di Jogja, dari beberapa kali sampling RM Padang, satu porsi yang sama harganya sekitar 10.000 hingga 12.000. Itu sudah dapat nasi dan ayam. Pemilik rumah makan bahkan mempersilahkan pengunjung untuk mengambil nasi dan lauknya sendiri. Mereka juga memasang detail harga untuk per item lauk yang dipilih. Nah yang saya suka, aneka sayur dan lalapan bisa diambil sesuka hati. Sangat kontras dengan di Malang yang diambilkan oleh pemilik warung.

Setiap hari, saya pun mencoba untuk membuat challenge dengan tidak menghabiskan uang lebih dari 20.000 rupiah setiap kali makan. Bahkan, kalau saya  bisa menghabiskan hanya 15.000 rupiah, maka saya akan bisa menukarnya dengan makan di resto kelas atas pada akhir pekan. Atau, untuk jaga-jaga jika ada teman yang mengajak nongkrong di kafe dan traveling ke luar kota. Hidup hemat harus sejalan dengan gaya hidup anak muda dong?

Murahnya harga makanan di Jogja ternyata berkorelasi dengan beberapa biaya hidup di sini. Saya ambil contoh mengenai masalah transportasi umum. Adanya Trans Jogja membuat pengeluaran saya bisa saya tekan juga untuk pos ini. Maklum, saya tidak membawa motor untuk hilir mudik dari satu tempat ke tempat lain.

Kalau di Malang, harga satu kali naik angkot berkisar 4.000 hingga 5.000 rupiah. Sama dengan harga di Kota Surabaya. Itupun, kalau oper (ganti jurusan angkot), masih harus bayar lagi. Kalau di Jogja, dengan naik Trans Jogja, harga satu kali naik moda transportasi ini adalah 3.500 dan bahkan bisa 2.700 jika menggunakan kartu langganan. Bahkan jika menggunakan kartu non tunai salah satu bank hanya perlu membayar 1800 rupiah.

Yang saya suka, jika harus ganti bus (transit tanpa ganti halte), maka kita tak perlu bayar lagi. Meskipun yang namanya kota besar, sama-sama macet dan lama menunggu angkutan datang. Tapi itu tak menjadi masalah. Dengan sedikit rayuan gombal menebeng teman, bisa dibilang saya menggunakan kendaraan umum ini setiap hari. Jika tak kepepet, saya tidak akan pernah naik angkutan online.

Naik Trans Jogja menjadi andalan saya bepergian. Dengan tiket terusan yang bisa diisu ulang cukup menghemat pengeluaran. - Dokumen Pribadi.
Naik Trans Jogja menjadi andalan saya bepergian. Dengan tiket terusan yang bisa diisu ulang cukup menghemat pengeluaran. - Dokumen Pribadi.
Saya jadi penasaran, kenapa biaya hidup di Jogja bisa semurah itu. Dari beberapa data, alasan utama yang membuat Jogja murah meriah adalah tidak banyaknya sektor industri yang menunjang kota kini. Sektor utama daerah adalah pendidikan dan pariwisata. Meski di daerah wisata beberapa harga makanan juga mahal, namun itu tak berlaku secara umum.

Daerah yang saya tinggali termasuk daerah "sepi wisatawan" sehingga harga makanan tak mahal. Hal ini berbeda dengan Malang yang memiliki banyak industri rokok sehingga biaya hidup menjadi cukup besar.

Namun, yang unik, asumsi saya tak benar juga. Ternyata biaya hidup total di Yogyakarta termasuk tinggi. Menurut data BPS tahun 2016 kemarin, Provinsi DIY termasuk 10 provinsi dengan biaya hidup tertinggi. Setiap bulan, per kapita di Jogja harus mengeluarkan biaya 1.070.962 untuk hidup. Meski begitu, hanya sebanyak sekitar Rp 466.842 untuk pengeluaran makanan. Sisanya digunakan untuk keperluan lain.

Tapi di balik itu, Jogja tetaplah "berhati nyaman" dalam hal pengeluaran tiap keluarga dibandingkan Malang. Yogyakarta masih berada di bawah kota kelahiran saya. Tiap keluarga di Malang menghabiskan sekitar Rp 5.075.853 untuk pengeluaran total per bulan. Sedangkan untuk Kota Yogyakarta menghabiskan Rp 4.803.345.

Andaikata saya sudah berkeluarga dan memutuskan tinggal di Yogyakarta daripada Malang, secara kasar saya bisa berhemat sekitar 200 ribu rupiah tiap bulan. Sayang, saya masih belum berkeluarga.

Nasi Kucing, dengan harga sebungkus 1500 hingga 2000 rupiah menjadi andalan saya ketika lapar. - Dokumen Pribadi.
Nasi Kucing, dengan harga sebungkus 1500 hingga 2000 rupiah menjadi andalan saya ketika lapar. - Dokumen Pribadi.
Namun, hal ini tidak dirasakan oleh banyak mahasiswa di Jogja. Mereka banyak yang mengeluh kenaikan sewa kos tiap tahun. Saat ini, sewa kamar kos saya tiap tahun hampir mencapai 3 juta rupiah per semester atau 500 ribu per bulan dengan fasilitas standar. Hanya mendapat kamar kosong ukuran 3x3. Harga yang hampir sama dengan sewa kos di Malang.

Menurut bebera sumber, memang untuk biaya hidup di Jogja bagi kalangan mahasiswa semakin lama semakin naik. Belum lagi, banyak diantara mereka yang tak segera pindah setelah lulus kuliah. Akibatnya, permintaan lahan kos-kosan juga meningkat yang berpengaruh terhadap harga.

Meski dirasa terus mengalami kenaikan, bagi saya biaya hidup di Yogyakarta tetaplah murah apalagi soal makanan. Saya masih bisa menjaga asupan gizi dengan makan empat sehat lima sempurna namun tidak membuat kantong jebol. Hanya tinggal bagaimana bisa mengelola keuangan, maka Jogja tetaplah "Berhati Nyaman" untuk urusan makanan. Mau mencoba tinggal lama di Jogja?

Sumber :

(1)(2)(3)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun