Makanya, mata saya cukup terbelalak. Lima ribu rupiah hanya dapat segelas teh dan sedikit gorengan kalau dibelanjakan di kota saya, Malang.
Saya lalu mendapati fakta lain. Murahnya makanan di Jogja rupanya juga terjadi di Rumah Makan Padang. Rumah makan yang sudah ada di mana-mana ini kembali membuat mata saya terbelalak. Entah ini hanya karena kebetulan atau tidak, namun harga satu paket ayam RM Padang di Jogja lebih murah dibandingkan di Malang. Kalau di Malang, harganya sekitar 12.000 hingga 15.000.
Kalau di Jogja, dari beberapa kali sampling RM Padang, satu porsi yang sama harganya sekitar 10.000 hingga 12.000. Itu sudah dapat nasi dan ayam. Pemilik rumah makan bahkan mempersilahkan pengunjung untuk mengambil nasi dan lauknya sendiri. Mereka juga memasang detail harga untuk per item lauk yang dipilih. Nah yang saya suka, aneka sayur dan lalapan bisa diambil sesuka hati. Sangat kontras dengan di Malang yang diambilkan oleh pemilik warung.
Setiap hari, saya pun mencoba untuk membuat challenge dengan tidak menghabiskan uang lebih dari 20.000 rupiah setiap kali makan. Bahkan, kalau saya  bisa menghabiskan hanya 15.000 rupiah, maka saya akan bisa menukarnya dengan makan di resto kelas atas pada akhir pekan. Atau, untuk jaga-jaga jika ada teman yang mengajak nongkrong di kafe dan traveling ke luar kota. Hidup hemat harus sejalan dengan gaya hidup anak muda dong?
Murahnya harga makanan di Jogja ternyata berkorelasi dengan beberapa biaya hidup di sini. Saya ambil contoh mengenai masalah transportasi umum. Adanya Trans Jogja membuat pengeluaran saya bisa saya tekan juga untuk pos ini. Maklum, saya tidak membawa motor untuk hilir mudik dari satu tempat ke tempat lain.
Kalau di Malang, harga satu kali naik angkot berkisar 4.000 hingga 5.000 rupiah. Sama dengan harga di Kota Surabaya. Itupun, kalau oper (ganti jurusan angkot), masih harus bayar lagi. Kalau di Jogja, dengan naik Trans Jogja, harga satu kali naik moda transportasi ini adalah 3.500 dan bahkan bisa 2.700 jika menggunakan kartu langganan. Bahkan jika menggunakan kartu non tunai salah satu bank hanya perlu membayar 1800 rupiah.
Yang saya suka, jika harus ganti bus (transit tanpa ganti halte), maka kita tak perlu bayar lagi. Meskipun yang namanya kota besar, sama-sama macet dan lama menunggu angkutan datang. Tapi itu tak menjadi masalah. Dengan sedikit rayuan gombal menebeng teman, bisa dibilang saya menggunakan kendaraan umum ini setiap hari. Jika tak kepepet, saya tidak akan pernah naik angkutan online.
Daerah yang saya tinggali termasuk daerah "sepi wisatawan" sehingga harga makanan tak mahal. Hal ini berbeda dengan Malang yang memiliki banyak industri rokok sehingga biaya hidup menjadi cukup besar.
Namun, yang unik, asumsi saya tak benar juga. Ternyata biaya hidup total di Yogyakarta termasuk tinggi. Menurut data BPS tahun 2016 kemarin, Provinsi DIY termasuk 10 provinsi dengan biaya hidup tertinggi. Setiap bulan, per kapita di Jogja harus mengeluarkan biaya 1.070.962 untuk hidup. Meski begitu, hanya sebanyak sekitar Rp 466.842 untuk pengeluaran makanan. Sisanya digunakan untuk keperluan lain.
Tapi di balik itu, Jogja tetaplah "berhati nyaman" dalam hal pengeluaran tiap keluarga dibandingkan Malang. Yogyakarta masih berada di bawah kota kelahiran saya. Tiap keluarga di Malang menghabiskan sekitar Rp 5.075.853 untuk pengeluaran total per bulan. Sedangkan untuk Kota Yogyakarta menghabiskan Rp 4.803.345.