Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menapaki Daerah Tlogomas, Danau Sumber Emas dengan Peradaban Kuna Tinggi

17 Januari 2018   12:11 Diperbarui: 17 Januari 2018   17:58 1992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampus adik saya yang terbelah diantara dua wilayah. Jembatan di dalam kampus tersebut menghubungkan daerah yang masuk wilayah kota (lapangan basket) dan daerah yang masuk wilayah kabupaten (gedung-gedung). (Dokumen Pribadi).

Adik saya selalu mengeluhkan jalan yang selalu ia lewati ketika menuju kampusnya beberapa waktu terakhir ini.

Selain macet, genangan air yang cukup tinggi ketika hujan melanda juga membuatnya sering berkeluh kesah sepanjang perjalanan menuju kampus yang terkenal dengan sebutan kampus putihnya itu.

Kampus yang sejatiny terbelah di antara dua wilayah teritorial, yakni antara Kabupaten Malang dan Kota Malang ini adalah salah satu dari hasil peradaban manusia luar biasa yang tercatat dalam sejarah. Memiliki ribuan mahasiswa dengan aneka latar belakang dan puluhan program studi pilihan terakreditasi "A", kampus ini terbujur dengan indahnya di sebuah daerah yang menyimpan sejarah panjang dalam peradaban bangsa Indonesia: Tlogomas.

Tlogomas merupakan sebuah daerah di pinggir barat Kota Malang yang menghubungan kota ini dengan beberapa kota penting seperti Kota Kediri, Jombang, dan Kota Wisata Batu. Di antara hiruk pikuk daerah yang menjadi salah satu ujung penggerak ekonomi di Kota Malang, banyak yang belum tahu bahwa daerah ini adalah bekas pusat suatu peradaban. Peradaban di daerah yang kini dikuasai koloni mahasiswa tersebut bisa dikatakan cukup maju untuk ukuran zaman itu.

Nama Tlogomas berasal dari kata "tlogo" dan "mas". "Tlogo" berarti telaga atau danau, sedangkan "mas" bisa berarti emas atau bisa diartikan sebagai sebuah daerah yang mengandung emas. Jika menelisik namanya, akan timbul pertanyaan. Apakah benar Tlogomas menyimpan banyak peninggalan emas? Apakah peninggalan emas ini mirip dengan legenda El Dorado?

Salah satu sudut jalan di Tlogomas. Keunikan jalan-jalan di daerah ini adalah diawali dari kata
Salah satu sudut jalan di Tlogomas. Keunikan jalan-jalan di daerah ini adalah diawali dari kata
Ternyata, kemunculan emas di Tlogomas bukanlah pepesan kosong. Dahulu, banyak berita yang mengabarkan bahwa beberapa warga telah menemukan emas budho (emas kuno) di sekitar Tlogomas. Tak hanya penemuan emas, hingga tahun 1960-an sebelum perkembangan Kota Malang lebih giat, banyak kegiatan pendulangan emas dilakukan oleh warga di areal persawahan berair. Areal sawah ini berada di sekitar Jalan Raya Tlogomas yang kini menjadi jalan poros provinsi.

Kegiatan penambangan emas berganti menjadi ritual menempatkan magnet di pematang sawah atau di selokan berjeram kecil pada sekitar tahun 1980-an. Magnet tersebut akan menarik butiran-butiran emas kecil. Kegiatan yang dilakukan warga terutama ketika musim hujan tiba itu menjadi kegiatan yang jamak terjadi. Nah, dari manakah emas itu berasal? Apakah tanah tempat itu mengandung emas? Lantas, mengapa tak dilakukan penambangan emas dalam skala besar?

Sepetak sawah yang tersisa diantara rimbunnya bangunan di Tlogomas. (Dokumen Pribadi).
Sepetak sawah yang tersisa diantara rimbunnya bangunan di Tlogomas. (Dokumen Pribadi).
Ternyata, serbuk emas yang ditemukan oleh warga itu berasal dari peninggalan masa lampau. Wilayah yang mereka huni masa kini adalah bekas permukiman ramai di suatu perkotaan kuno. Perkotaan ini merupakan sebuah pusat pemerintahan yang disebut dengan Watak Kanuruhan (beberapa sumber sejarah menyebutnya sebagai Kerajaan Kanjuruhan). 

Pusat pemerintahan ini berdiri sekitar abad VIII. Berada di antara dua sungai besar yakni Sungai Brantas dan Sungai Metro, membuat permukiman ini cukup khas. Para ahli meyakini, permukiman kuno ini terbentang di suatu daerah bekas genangan air yang cukup besar menyerupai telaga.

Telaga tersebut merupakan sisa dari Danau Purba Malang yang telah mengering. Masyarakat di permukiman kuno itu banyak yang bekerja sebagai undagi (perajin emas) untuk dijadikan aneka macam perhiasan kerajaan dan kebutuhan lainnya. Setelah berjalannya waktu berabad-abad, perhiasan-perhiasan tersebut aus dan terurai menjadi serpihan-serpihan emas yang ditemukan warga.

Nah yang unik, permukiman kuno ini memiliki tata kelola air yang luar biasa pada zamannya. Jejak teknologi ini terlihat dari banyaknya sungai kecil dan parit di sekitar permukiman Tlogomas sekarang. Di antara rimbunnya kos-kosan dan kampus, jejak itu masih tersisa.

Drainase dan irigasi tersebut diyakini merupakan suatu kesatuan ekologis dari peradaban masa lampau. Peradaban dengan bangunan tempat suci yang strategis untuk berbagai keperluan. Adanya tempat semacam ini juga terdapat di daerah lain yang diapit oleh dua sungai besar seperti Candi Borobudur, Bedahulu Bali, dan daerah Doab India dekat Sungai Gangga. Peradaban yang berada di daerah paleo-ekologi semacam itu bisa disebut dengan hydrolic society.

Jejak sejarah dari peninggalan drainase tersebut berupa saluran air pada permukaan tanah (weluran) dan di bawah permukaan air (arung). Ujung terowongan tersebut terdapat di lereng Kali Brantas dan Metro. Fungsi dari saluran air ini adalah menampung air hujan pada cekungan tanah sehingga dapat dialirkan ke sungai. Jadi, genangan air akibat hujan deras yang turun tak akan terjadi. 

Tak hanya itu, saluran air tersebut juga berfungsi sebagai saluran irigasi bagi sawah-sawah yang dialiri oleh aliran dua sungai tersebut. Yang menarik, tak seperti arung pada daerah Tembalangan (baca kisahnya di sini), arung pada daerah sekitar Tlogomas ini masih aktif hingga kini. Beberapa di antaranya menjadi saluran drainase yang kini dikelola oleh Pemkot Malang. Salah satu arung yang cukup vital adalah saluran di sebelah utara kompleks pertokoan DITAS (Dinoyo Tanah Agung Square). Saluran ini mencakup beberapa saluran lain di sekitar Universitas Brawijaya dan Politeknik Negeri Malang.

Diorama di Museum Mpu Purwa yang menujukkan Uttajena, putri dari Raja Gajayana sedang diberi pemberkatan. Keduanya adalah pemimpin Kerajaan Kanjuruhan yang memerintah dengan adil dan bijaksana. Rakyat hidup makmur dan banyak yang bermatapencaharian sebagai undagi (perajin emas). (Dokumen Pribadi).
Diorama di Museum Mpu Purwa yang menujukkan Uttajena, putri dari Raja Gajayana sedang diberi pemberkatan. Keduanya adalah pemimpin Kerajaan Kanjuruhan yang memerintah dengan adil dan bijaksana. Rakyat hidup makmur dan banyak yang bermatapencaharian sebagai undagi (perajin emas). (Dokumen Pribadi).
Dari penemuan arung ini, banyak ahli menduga bahwa daerah Tlogomas mulai ramai dan berkembang pesat saat Watak Kanuruhan. Saat-saat ketika pengaruh Hindu-Buddha mulai tampak. Namun, jika melihat beberapa peninggalan bersejarah yang ada, ternyata daerah ini sudah mulai dihuni pada akhir zaman prasejarah. Bukti terkuatnya adalah temuan sebuah batu dan sarkofagus di sebuah punden yang diberi nama Cungkup Watu Gong.

Punden ini terletak tak jauh dari DAS Metro. Keduanya termasuk artefak yang sangat khas dengan tradisi megalitikum. Selain kedua peninggalan tadi, ditemukan pula sebuah batu gores di tepi Sungai Metro. Bentuk goresan tersebut ada yang menyerupai huruf T dan ada juga yang berupa garis sejajar. Belum diketahui secara pasti fungsi dari batu gores tersebut. Penemuan yang cukup fenomenal adalah pelandas tiang (umpak) dari batu andesit menyerupai wanditra gong pada Cungkup Watu Gong tadi.

Jejak tersebut diyakini berkenaan dengan rumah berpanggung zaman prasejarah. Bangunan berpanggung merupakan arsitektur yang sering ditemukan pada daerah yang rentan tergenang air. Genangan air akan tinggi saat musim hujan dan menjadi kering saat musim kemarau. Konstruksi semacam ini ternyata sudah digunakan di daerah Tlogomas sejak zaman prasejarah dan berlanjut hingga masa Hindu-Buddha.

Jejak sejarah Tlogomas pada masa Hindu Buddha ternyata juga cukup beragam. Beberapa artefak yang merujuk daerah ini telah ditemukan. Di antara artefak tersebut adalah sebuah arca Ganesha, dua buah fragmen arca dewata, batu pipisan, bata-bata lama, dan wadah air. Walaupun tak diketemukan secara utuh, aneka artefak tersebut diduga merupakan bagian dari sebuah candi yang berdiri di daerah watak Kanuruhan selain Candi Badut dan Candi Gasek (Candi Karang Besuki). Apabila ditarik sebuah garis, rangkaian candi tersebut berada di lembah Sungai Metro yang disucikan. Aliran di sepanjang sungai tersebut berbelok tajam membentuk huruf S yang sedemikian rupa dengan pola meander. Keberadaan candi-candi tersebut menjadi bukti adanya kesinambungan budaya dari zaman prasejarah hingga Hindu-Buddha.

Peta wilayah Kelurahan Tlogomas Kecamatan Lowokwaru Kota Malang. Daerah penemuan benda bersejarah diberi tanda bintang. (keltlogomas.malangkota.go.id)
Peta wilayah Kelurahan Tlogomas Kecamatan Lowokwaru Kota Malang. Daerah penemuan benda bersejarah diberi tanda bintang. (keltlogomas.malangkota.go.id)
Nama Tlogomas menjadi buah bibir pada abad XIII tatkala sebuah kampung di daerah itu tercantum dalam Kitab Pararaton. Kampung tersebut bernama Karuman*. Kampung ini berada tak jauh dari DAS Brantas. Di dalam kampung tersebut, terkisah seorang pria yang sangat gemar berjudi. Pria bernama Bango Samparan inilah yang mengadopsi seorang anak bernama Ken Arok (Ken Angrok). 

Sang anak tersebut sering ia bawa ke meja perjudian. Letak daerah Karuman yang sangat strategis menjadikannya salah satu pusat keramaian, termasuk pula pusat perjudian. Bango Samparan selalu membawa Ken Arok saat bermain judi karena ia menganggap anak tersebut sebagai pembawa berkah. Ken Arok yang merasa tabiat ayah angkat keduanya tak baik lalu meninggalkan Karuman. Meski begitu, selepas berjaya, Ken Arok masih tak lupa atas jasa Bango Samparan. Ia menetapkan desanya dulu sebagai tanah sima (desa perdikan)* dengan bukti beberapa artefak di Situs Karuman, sebuah situs bersejarah yang terletak di Tlogomas Gang 8, dekat dengan SDN Tlogomas 1.

Di dalam situs ini ditemukan sebuah arca Durga Mahisasuramadhini. Arca ini berada dalam posisi duduk pamasana dengan bagian kepala yang sudah pecah. Ditemukan pula fragmen arca Nandi, yang ditumpangkan di atas Yoni dan diapit oleh dua buah lingga. Penemuan yang cukup mengejutkan lainnya adalah sebuah ambang pintu (dorpel) yakni bagian atas pintu candi menuju bilik utama. 

Penemuan artefak tersebut membuat Situs Karuman diyakini merupakan reruntuhan sebuah candi berlatar agama Hindu sekte Siwa yang berasal dari masa Kerajaan Singosari. Candi ini diyakini menampati areal yang cukup luas yang dibuktikan dengan penemuan bata-bata kuno oleh warga saat menggali tanah untuk keperluan membangun rumah atau sumur. Tak hanya peninggalan benda purbakala, bukti tertulis tentang status Karuman sebagai desa pardikan juga tercantum dalam Kitab Pararaton. Petikan dari kitab tersebut berbunyi:

".............adapun mereka yang menaruh belas kasihan kepada Ken Angrok, dahulu sewaktu ia sedang menderita, semua dipanggil, diberi perlindungan dan diberi balasan atas budi jasanya. Misalnya Bangosamparan, tidak perlu dikatakan tentang kepala lingkungan Turyantapada, dan anak-anak pandai besi di Lulumbang yang bernama Mpu Gandring, seratus pandai besi di Lulumbang itu diberi hak istimewa dan dibebaskan dari kewajiban di dalam lingkungan batas jejak bajak beliung cangkulnya...................."(Padmapuspita, 1966:63)

Batu sima, tanda status perdikan daerah Karuman, Tlogomas. (Disbudpar Kota Malang).
Batu sima, tanda status perdikan daerah Karuman, Tlogomas. (Disbudpar Kota Malang).
Strategisnya posisi Karuman yang berada di Tlogomas ini membuat banyak peninggalan lain ditemukan yakni berupa batu-batu bata. Peninggalan tersebut diyakini sebagai bekas pemukiman kuno sering ditemukan warga. Tak hanya itu, terdapat pula beberapa buah pancuran air (jalawadra) dari batu andesit. Pancuran ini konon difungsikan sebagai sebagai pancuran air di sebuah petirtaan. Beberapa tinggalan abad XIII M lainnya yang ditemukan adalah sebuah yoni besar di sekitar Universitas Tribhuwana Tunggaldewi (Unitri), arca yang diduga rerutuhan candi di halaman SDN Tlogomas I, dan lumpang batu di dekat Universitas Islam Malang (Unisma).
Situs Karuman yang berada tak jauh dari SDN Tlogomas 1. Situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi. (Dokumen Pribadi).
Situs Karuman yang berada tak jauh dari SDN Tlogomas 1. Situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi. (Dokumen Pribadi).
Peninggalan daerah Tlogomas. 1. Bekas arung (saluran air) di dekat DAS Brantas 2. Cungkup Watu Gong tak jauh dari DAS Metro 3. Ambang pintu (dorpel) 4. Fragmen arca Nandi dengan dua buah lingga. (Disbudpar Kota Malang)
Peninggalan daerah Tlogomas. 1. Bekas arung (saluran air) di dekat DAS Brantas 2. Cungkup Watu Gong tak jauh dari DAS Metro 3. Ambang pintu (dorpel) 4. Fragmen arca Nandi dengan dua buah lingga. (Disbudpar Kota Malang)
Dari hasil penemuan dan rekonstruksi sejarah tersebut, dapat dikatakan bahwa peradaban kuno di Tlogomas telah memiliki kemajuan yang cukup tinggi. Selain penemuan emas yang merupakan bekas koleksi logam mulia untuk perhiasan, aneka artefak juga mengindikasikan bahwa Tlogomas memiliki sistem permukiman yang maju. 

Terlebih lagi, posisi Tlogomas yang menjadi penghubung dua kerajaan penting, yakni Singosari dan Kediri membuat daerah itu menjadi ramai. Hingga kini, Tlogomas menjadi salah satu urat nadi perekonomian Kota Malang. Sampai kapanpun, Tlogomas tetap menjadi telaga yang menjadi sumber emas tempat untuk menggantungkan hidup banyak orang. Harapan hidup bagi warga Malang dan juga pendatang. Menyisakan cerita pengelolaan tata ruang luar biasa, kisah Tlogomas seharusnya dijadikan pelajaran untuk kehidupan masa kini. Sekian, mohon maaf jika ada kekurangan.

Salam.

*)Catatan :
(1) Mengenai nama Karuman, ada beberapa sumber yang merujuk pada daerah Kecamatan Garum Kabupaten Blitar. Tak hanya itu, kontroversi kisah Ken Arok pun juga masih sering terjadi. Ada beberapa sumber juga yang menyebutkan bahwa Ken Arok bukanlah pembunuh Mpu Gandring dan merupakan tokoh fiksi. Meski aneka kontoversi itu masih terjadi hingga kini dan banyak kisah sejarah yang menggambarkannya sebagai tokoh antagonis, Ken Arok tetaplah menjadi tokoh kebanggan warga Malang dan dipuja sebagai pahlawan.
(2) Desa perdikan merupakan bentuk apreasiasi (hadiah) dari raja yang diberikan kepada rakyatnya yang diangap berjasa pada negaranya. Terjadinya desa perdikan di satu wilayah dengan wilayah lainya tidak sama, dengan sejarah dan cerita unik sendiri-sendiri. 

Di dalam desa perdikan, semua rakyat dibebaskan dari segala bentuk pajak negara, bebas kerja paksa, dan segala urusan diatur sendiri oleh desa perdikan. Namun demikian, aturan di dalam desa perdikan tidak boleh bertentangan dengan aturan yang telah ditetapkan oleh negara. Dalam masa kini, desa perdikan mirip dengan daerah otonomi khusus.

Sumber:
Dalam jaringan
(1)(2)(3)(4)(5)
Luar jaringan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang. 2013. Wanwacarita, Kesejarahan Desa-Desa Kuno di Kota Malang.
Padmanuspita, J. 1966, Pararaton. Yogyakarta: Taman Siswa
Subiyanto, Ibnu. 2016. Melacak Mitos Merapi: Peka Membaca Bencana, Kritis Terhadap Kearifan Lokal. Yogyakarta : JB Publisher.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun