Tak hanya itu, saluran air tersebut juga berfungsi sebagai saluran irigasi bagi sawah-sawah yang dialiri oleh aliran dua sungai tersebut. Yang menarik, tak seperti arung pada daerah Tembalangan (baca kisahnya di sini), arung pada daerah sekitar Tlogomas ini masih aktif hingga kini. Beberapa di antaranya menjadi saluran drainase yang kini dikelola oleh Pemkot Malang. Salah satu arung yang cukup vital adalah saluran di sebelah utara kompleks pertokoan DITAS (Dinoyo Tanah Agung Square). Saluran ini mencakup beberapa saluran lain di sekitar Universitas Brawijaya dan Politeknik Negeri Malang.
Punden ini terletak tak jauh dari DAS Metro. Keduanya termasuk artefak yang sangat khas dengan tradisi megalitikum. Selain kedua peninggalan tadi, ditemukan pula sebuah batu gores di tepi Sungai Metro. Bentuk goresan tersebut ada yang menyerupai huruf T dan ada juga yang berupa garis sejajar. Belum diketahui secara pasti fungsi dari batu gores tersebut. Penemuan yang cukup fenomenal adalah pelandas tiang (umpak) dari batu andesit menyerupai wanditra gong pada Cungkup Watu Gong tadi.
Jejak tersebut diyakini berkenaan dengan rumah berpanggung zaman prasejarah. Bangunan berpanggung merupakan arsitektur yang sering ditemukan pada daerah yang rentan tergenang air. Genangan air akan tinggi saat musim hujan dan menjadi kering saat musim kemarau. Konstruksi semacam ini ternyata sudah digunakan di daerah Tlogomas sejak zaman prasejarah dan berlanjut hingga masa Hindu-Buddha.
Jejak sejarah Tlogomas pada masa Hindu Buddha ternyata juga cukup beragam. Beberapa artefak yang merujuk daerah ini telah ditemukan. Di antara artefak tersebut adalah sebuah arca Ganesha, dua buah fragmen arca dewata, batu pipisan, bata-bata lama, dan wadah air. Walaupun tak diketemukan secara utuh, aneka artefak tersebut diduga merupakan bagian dari sebuah candi yang berdiri di daerah watak Kanuruhan selain Candi Badut dan Candi Gasek (Candi Karang Besuki). Apabila ditarik sebuah garis, rangkaian candi tersebut berada di lembah Sungai Metro yang disucikan. Aliran di sepanjang sungai tersebut berbelok tajam membentuk huruf S yang sedemikian rupa dengan pola meander. Keberadaan candi-candi tersebut menjadi bukti adanya kesinambungan budaya dari zaman prasejarah hingga Hindu-Buddha.
Sang anak tersebut sering ia bawa ke meja perjudian. Letak daerah Karuman yang sangat strategis menjadikannya salah satu pusat keramaian, termasuk pula pusat perjudian. Bango Samparan selalu membawa Ken Arok saat bermain judi karena ia menganggap anak tersebut sebagai pembawa berkah. Ken Arok yang merasa tabiat ayah angkat keduanya tak baik lalu meninggalkan Karuman. Meski begitu, selepas berjaya, Ken Arok masih tak lupa atas jasa Bango Samparan. Ia menetapkan desanya dulu sebagai tanah sima (desa perdikan)* dengan bukti beberapa artefak di Situs Karuman, sebuah situs bersejarah yang terletak di Tlogomas Gang 8, dekat dengan SDN Tlogomas 1.
Di dalam situs ini ditemukan sebuah arca Durga Mahisasuramadhini. Arca ini berada dalam posisi duduk pamasana dengan bagian kepala yang sudah pecah. Ditemukan pula fragmen arca Nandi, yang ditumpangkan di atas Yoni dan diapit oleh dua buah lingga. Penemuan yang cukup mengejutkan lainnya adalah sebuah ambang pintu (dorpel) yakni bagian atas pintu candi menuju bilik utama.Â
Penemuan artefak tersebut membuat Situs Karuman diyakini merupakan reruntuhan sebuah candi berlatar agama Hindu sekte Siwa yang berasal dari masa Kerajaan Singosari. Candi ini diyakini menampati areal yang cukup luas yang dibuktikan dengan penemuan bata-bata kuno oleh warga saat menggali tanah untuk keperluan membangun rumah atau sumur. Tak hanya peninggalan benda purbakala, bukti tertulis tentang status Karuman sebagai desa pardikan juga tercantum dalam Kitab Pararaton. Petikan dari kitab tersebut berbunyi:
".............adapun mereka yang menaruh belas kasihan kepada Ken Angrok, dahulu sewaktu ia sedang menderita, semua dipanggil, diberi perlindungan dan diberi balasan atas budi jasanya. Misalnya Bangosamparan, tidak perlu dikatakan tentang kepala lingkungan Turyantapada, dan anak-anak pandai besi di Lulumbang yang bernama Mpu Gandring, seratus pandai besi di Lulumbang itu diberi hak istimewa dan dibebaskan dari kewajiban di dalam lingkungan batas jejak bajak beliung cangkulnya...................."(Padmapuspita, 1966:63)
Terlebih lagi, posisi Tlogomas yang menjadi penghubung dua kerajaan penting, yakni Singosari dan Kediri membuat daerah itu menjadi ramai. Hingga kini, Tlogomas menjadi salah satu urat nadi perekonomian Kota Malang. Sampai kapanpun, Tlogomas tetap menjadi telaga yang menjadi sumber emas tempat untuk menggantungkan hidup banyak orang. Harapan hidup bagi warga Malang dan juga pendatang. Menyisakan cerita pengelolaan tata ruang luar biasa, kisah Tlogomas seharusnya dijadikan pelajaran untuk kehidupan masa kini. Sekian, mohon maaf jika ada kekurangan.
Salam.