Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Saat Guru Harus Sering Meninggalkan Kelas

19 November 2017   14:21 Diperbarui: 20 November 2017   10:30 6276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak-anak juga kadang sering meninggalkan pelajaran. Gambar ketika anak-anak menunggu Walikota dalam sebuah acara (Dokumen Pribadi)
Anak-anak juga kadang sering meninggalkan pelajaran. Gambar ketika anak-anak menunggu Walikota dalam sebuah acara (Dokumen Pribadi)
Pertanyaan lain, apa dampak dari anak-anak yang sering ditinggalkan?  

Pertama, materi pelajaran tidak akan tersampaikan dengan baik. Beberapa materi yang cukup sulit tidak bisa saya ulang dengan maksimal. Saya harus berkejaran dengan waktu. Bahkan di Tema 5 yang merupakan terakhir untuk Semester Gasal, saya melahap materi dalam 1 Sub Tema yang harusnya 1 minggu menjadi 2 hari saja. Padahal, pada Sub Tema tersebut terdapat muatan matematika dengan materi cukup sulit : bilangan pangkat dua dan tiga beserta penarikan akarnya. Apakah anak-anak paham? Itu urusan nanti.

Belajar di luar sangat menyenangkan, namun jika sang guru tak punya banyak waktu sepertinya akan menjadi hal yang mewah bagi anak-anak (Dokumen Pribadi).
Belajar di luar sangat menyenangkan, namun jika sang guru tak punya banyak waktu sepertinya akan menjadi hal yang mewah bagi anak-anak (Dokumen Pribadi).
Kedua, sebagai motor Kegiatan Belajar Mengajara di kelas, maka keadaan kelas tidak akan bisa terkendali dengan baik. Apalagi, murid saya masih berada di jenjang Sekolah Dasar. Pengajaran moral yang seharusnya setiap hari saya berikan menjadi hilang. Saat saya masuk kembali, aneka laporan mengenai siswa bertengkar dan menangis sudah biasa. Belum lagi, siswa yang melaporkan temannya berkata kotor. Sikap tegas memang sangat diperlukan. Namun yang namanya anak-anak, tak mendapati gurunya selama seminggu pasti perilaku negatif mereka juga akan timbul lagi.

Ketiga, di akhir semester atau pelajaran, saya harus melakukan "toleransi" terhadap siswa yang memiliki nilai di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Toleransi ini saya berikan karena saya yakin sebenarnya mereka bisa menguasai dengan cukup baik jika saya mengajar di kelas dengan penuh dan membimbing mereka dengan telaten. 

Namun, fakta di lapangan sebaliknya. Siswa semacam ini tak bisa saya dampingi dengan baik. Jangankan mendampingi mereka dengan cukup intensif, membahas materi pelajaran saja rasanya belum juga rampung. Toleransi ini akan berdampak pada keputusan sang anak naik atau tidak. Kalau keadaan memungkinkan, sang anak akan saya tahan dulu tetap di kelas 5. Namun, keadaan yang ada sebaliknya. Menahan mereka tetap di Kelas 5 akan berpengaruh pada jumlah anak pada tahun ajaran berikutnya. 

Dari peraturan cut offDapodik (Data Pokok Pendidikan) yang saya ketahui, saat ini, jumlah maksimal dalam satu rombel untuk SD adalah 32 siswa. Lebih dari itu, maka dana BOSNAS akan bermasalah. Jika tetap saya naikkan, maka sang anak akan kesulitan menghadapi beban palajaran di kelas 6, yang merupakan kelas terakhir. Mungkin masalah ini juga dihadapi oleh guru-guru di sekolah lain. 

Keempat, seringnya meninggalkan anak-anak di kelas banyak yang menjadikan mindsetnegatif bagi anak dan orang tua. Bagi anak, mereka akan malas mengikuti pelajaran di kelas karena tahu gurunya akan tak masuk. Semangat belajar mereka akan turun meski sang guru sedang mengikuti pelatihan bagaimana meningkatkan semangat belajar siswa selama seminggu. Sungguh keadaan yang kontradiktif. Dukungan dan kepercayaan orang tua terhadap guru yang sering meninggalkan muridnya juga akan turun, meski tak tersurat secara langsung.

Kegiatan Akreditasi. Meski sudah disiapkan jauh-jauh hari namanya guru juga mengajar ya selalu kelabakan menjelang visitasi (Dokumen Pribadi)
Kegiatan Akreditasi. Meski sudah disiapkan jauh-jauh hari namanya guru juga mengajar ya selalu kelabakan menjelang visitasi (Dokumen Pribadi)
Kelima, tentunya penilaian terhadap siswa juga berpengaruh. Satu kali ulangan yang harusnya tiap Sub Tema menjadi satu tema. Bahkan pada tahun ajaran sebelumnya, saya sampai tidak sempat memberi ulangan Tema 9 (tema terakhir) karena sudah memasuki pekan UAS. Porgram yang saya susun menjadi berantakan meski saya sering mencoba mengebut materi di awal semester. Program remedial dan pengayaan pun juga tak bisa diberikan.

Sebagai penutup, saya masih tak habis pikir apa yang ada di benak pemangku kepentingan dengan tugas yang harus diselesaikan guru saat jam pelajaran berlangsung ini. Mungkin, frekuensi saya meninggalkan kelas tak sebanding dengan guru lain yang bisa sampai berminggu-minggu meninggalkan muridnya. Apapun itu, tugas guru yang utama adalah mengajar dan mendidik siswanya. Alangkah lebih baik jika kegiatan-kegiatan semacam pelatihan diadakan saat bukan hari efektif sekolah, semisal setelah penerimaan rapor atau saat puasa.

Di masa ini, sering sekali para guru datang ke sekolah namun tak ada hal yang dilakukan. Meski guru juga butuh liburan, pekan panjang natal dan lebaran rasanya sudah cukup.  Terakhir, seyogyanya ada perhatian juga kepada staf Tata Usaha (TU), terutama di Sekolah Dasar yang belum mendapat perhatian yang cukup. Tugas mereka juga tak kalah banyak. Yang menjadi miris, sering terjadi gonta-ganti TU dengan banyak alasan, salah satunya adalah alasan kesejahteraan. Kejadian ini juga menjadikan tugas TU akan dilimpahkan pula kepada guru.

Lihat! Pak Guru tak akan masuk kelas! kata sang anak (Dokumen Pribadi)
Lihat! Pak Guru tak akan masuk kelas! kata sang anak (Dokumen Pribadi)
Semoga tulisan remeh temeh ini bisa sedikit memahami bagaimana benang kusut pendidikan di negeri ini. Apa yang saya paparkan ya memang itulah yang terjadi di lapangan. Bolehlah kita bermimpi pendidikan kita seperti di Finlandia atau negara manapun, namun alangkah lebih baik kita fokus dalam membuat guru nyaman mengajar sehingga menghasilkan generasi yang berkualitas. Jangan sampai sang guru sering ikut pelatihan namun sang murid babak belur di tengah jalan.

Semoga bermanfaat, mohon maaf jika ada kesalahan. Salam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun