Pertama, materi pelajaran tidak akan tersampaikan dengan baik. Beberapa materi yang cukup sulit tidak bisa saya ulang dengan maksimal. Saya harus berkejaran dengan waktu. Bahkan di Tema 5 yang merupakan terakhir untuk Semester Gasal, saya melahap materi dalam 1 Sub Tema yang harusnya 1 minggu menjadi 2 hari saja. Padahal, pada Sub Tema tersebut terdapat muatan matematika dengan materi cukup sulit : bilangan pangkat dua dan tiga beserta penarikan akarnya. Apakah anak-anak paham? Itu urusan nanti.
Ketiga, di akhir semester atau pelajaran, saya harus melakukan "toleransi" terhadap siswa yang memiliki nilai di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Toleransi ini saya berikan karena saya yakin sebenarnya mereka bisa menguasai dengan cukup baik jika saya mengajar di kelas dengan penuh dan membimbing mereka dengan telaten.Â
Namun, fakta di lapangan sebaliknya. Siswa semacam ini tak bisa saya dampingi dengan baik. Jangankan mendampingi mereka dengan cukup intensif, membahas materi pelajaran saja rasanya belum juga rampung. Toleransi ini akan berdampak pada keputusan sang anak naik atau tidak. Kalau keadaan memungkinkan, sang anak akan saya tahan dulu tetap di kelas 5. Namun, keadaan yang ada sebaliknya. Menahan mereka tetap di Kelas 5 akan berpengaruh pada jumlah anak pada tahun ajaran berikutnya.Â
Dari peraturan cut offDapodik (Data Pokok Pendidikan) yang saya ketahui, saat ini, jumlah maksimal dalam satu rombel untuk SD adalah 32 siswa. Lebih dari itu, maka dana BOSNAS akan bermasalah. Jika tetap saya naikkan, maka sang anak akan kesulitan menghadapi beban palajaran di kelas 6, yang merupakan kelas terakhir. Mungkin masalah ini juga dihadapi oleh guru-guru di sekolah lain.Â
Keempat, seringnya meninggalkan anak-anak di kelas banyak yang menjadikan mindsetnegatif bagi anak dan orang tua. Bagi anak, mereka akan malas mengikuti pelajaran di kelas karena tahu gurunya akan tak masuk. Semangat belajar mereka akan turun meski sang guru sedang mengikuti pelatihan bagaimana meningkatkan semangat belajar siswa selama seminggu. Sungguh keadaan yang kontradiktif. Dukungan dan kepercayaan orang tua terhadap guru yang sering meninggalkan muridnya juga akan turun, meski tak tersurat secara langsung.
Sebagai penutup, saya masih tak habis pikir apa yang ada di benak pemangku kepentingan dengan tugas yang harus diselesaikan guru saat jam pelajaran berlangsung ini. Mungkin, frekuensi saya meninggalkan kelas tak sebanding dengan guru lain yang bisa sampai berminggu-minggu meninggalkan muridnya. Apapun itu, tugas guru yang utama adalah mengajar dan mendidik siswanya. Alangkah lebih baik jika kegiatan-kegiatan semacam pelatihan diadakan saat bukan hari efektif sekolah, semisal setelah penerimaan rapor atau saat puasa.
Di masa ini, sering sekali para guru datang ke sekolah namun tak ada hal yang dilakukan. Meski guru juga butuh liburan, pekan panjang natal dan lebaran rasanya sudah cukup. Â Terakhir, seyogyanya ada perhatian juga kepada staf Tata Usaha (TU), terutama di Sekolah Dasar yang belum mendapat perhatian yang cukup. Tugas mereka juga tak kalah banyak. Yang menjadi miris, sering terjadi gonta-ganti TU dengan banyak alasan, salah satunya adalah alasan kesejahteraan. Kejadian ini juga menjadikan tugas TU akan dilimpahkan pula kepada guru.
Semoga bermanfaat, mohon maaf jika ada kesalahan. Salam.Â