Saya jadi mengerti mengapa murid-murid saya bisa senang belajar di kelas ketika saya mencoba teknik mengajar baru dalam pembelajaran. Asyik dan ingin terus menikmati. Itulah yang saya dapat ketika "bersekolah" di Kompasiana. Saya menyerap aneka ilmu tulis menulis dengan sepenuh hati, nyaman, dan tentunya bahagia karena mendapatkan hal baru.
2. Asyiknya Tulisan Kita Dibaca
Sebelum menulis di Kompasiana, saya sebenarnya sudah menulis di Blog Multiply. Meski hanya blog pribadi, jujur saya ingin tulisan saya dibaca. Maka dari itu, saya biasanya membagi tautan tulisan saya kepada milis dan email rekan-rekan saya.
Namun, bukan apresiasi yang saya dapat melainkan keluhan kalau tautan tulisan saya sangat mengganggu. Saya sadar mungkin tulisan saya belum bisa terapresiasi dengan baik dan saya hanya mencoba bagaimana cara yang efektif untuk mempromosikan tulisan saya. Mengingat, saat itu jejaring sosial dan aneka aplikasi telepon pintar belum semarak sekarang.
Ketika saya pertama kali menulis di Kompasiana, tulisan pertama saya dibaca oleh sekitar 200 orang. Sungguh, apresiasi yang sangat tinggi bagi saya mengingat tulisan pertama saya adalah hal remeh temeh berupa pengalaman saat salah naik kereta yang berakhir tragis (bisa dibaca di sini). Saya jadi semakin asyik menulis artikel-artikel baru dan berpikir bahwa jika tulisan remeh temeh saya saja benar-benar dihargai di Kompasiana, apalagi kalau tulisan yang lebih berbobot. Sejak itu, saya memantapkan dalam hati bahwa saya akan terus berusaha membagi apa yang saya punya sambil belajar menulis di Kompasiana.
3. Asyiknya Mendapat Teman Baru
Sebagai tipe pribadi yang cenderung introvret, saya cukup kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain, terutama pertemanan. Hanya teman yang paling dekat saja yang benar-benar akrab dengan saya. Dengan bergabung di Kompasiana, saya benar-benar belajar menjalin pertemanan, bahkan juga persahabatan dan saudara. Yang membuat kenangan saya tak terlupakan adalah banyak diantara teman yang saya anggap saudara tapi saya tak tahu wajah aslinya.
Ya, banyak Kompasianer yang memang menyembunyikan identitasnya. Saya rasa itu hak mereka. Walaupun saya tak tahu bagaimana wajah asli mereka, entah kenapa saya benar-benar merasa dekat. Saya merasa punya teman baru yang mendukung saya untuk terus menulis dan membagikan apa yang saya punya. Salah satu teman misterius saya adalah Mbak Mou Soul. Teman saya ini bahkan sering meminta izin untuk menyalin dan menyebarkan artikel saya berserta tautannya. Sungguh, saat saya dimintai izin seperti itu saya sangat senang. Satu hal lagi, yang membuat Mbak Mou Soul berkesan dalam perjalanan saya di Kompasiana adalah artikel terakhirnya sebelum beliau vakum adalah tulisan khusus untuk membalas artikel saya. Dari artikel itu, saya mendapat informasi sepele namun penting, yakni penggunaan akhiran Je sebagai penutup ujaran orang-orang Jogja dalam percakapan sehari-hari.
4. Asyiknya Adu Argumen dan Artikel
Sebagai jurnalisme warga, perbedaan pendapat pasti terjadi. Silang pendapat yang berujung komentar pedas juga sering saya saksikan di rumah bersama ini. Beberapa diantaranya bahkan pernah akan berujung ke meja hijau. Tak perlu saya ceritakan pada kisah mana adu argumen dan akhirnya adu artikel itu terjadi. Yang pasti, dari keriuhan tersebut saya hanya bisa belajar untuk menahan diri dalam berekspresi di dunia maya.
Ada kalanya kita harus bisa dengan cerdas memilah kapan kita harus diam, balas berkomentar, hingga jika benar-benar apa yang kita ketahui adalah sebuah kebenaran untuk diketahui banyak orang, maka kita harus menuliskan ke dalam sebuah artikel. Semua proses demokrasi itu benar-benar diwadahi oleh Kompasiana. Inilah yang sering saya sebut Kompasiana merupakan Indonesia mini karena banyaknya isi kepala yang berbeda namun bernaung di tempat yang sama.