Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Kuto Bedah, Bekas Pusat Kerajaan Singosari di Timur Pulau Jawa

30 September 2017   09:33 Diperbarui: 30 September 2017   16:08 6392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang ibu yang menggendong anaknya sedang meniti jembatan gantung yang berdiri di atas Sungai Brantas. Jika tak punya nyali, jangan coba-coba menaiki kendaraan bermotor di sini.|Dokumentasi pribadi

A: Halloo... Brodin..?
B: Oh, halo Ashar, da'ramma kabarra?
A: Alhamdulillah sehat. Sakalangkon. Ba'en da'remma keya?
B: Pada saean. Ce' bannya'en ban-gibanna. Da'emma'a reya?
A: Engko' entarra da' romana tang anom reh.
B: O, da'iyya ya.

Saya mengunyah sempol, jajanan khas Kota Malang dengan lahap sambil duduk manja di sebuah pos kamling yang tak jauh dari sebuah pasar. Di depan saya, dua orang bercakap-cakap dengan bahasa yang tak saya mengerti. Entah apa yang mereka bicarakan. Saya seperti terasing di tengah kerumunan orang-orang di sekeliling saya. Padahal, saya sedang berada di kota sendiri. Menikmati minggu pagi di sebuah pasar yang sangat ramai. Pasar Kebalen namanya. Setelah menghabiskan sempol, saya sejenak berjalan di sekitar pasar tersebut.

Meski mayoritas orang Malang adalah suku Jawa dengan ciri khas Arek Malang (Arema), namun di pasar ini, orang yang bersuku Jawa dan bertutur kata bahasa Jawa bisa dihitung jari. Penduduk di daerah sekitar pasar tersebut mayoritas adalah Suku Madura. Setiap hari, mereka menggerakkan denyut nadi perekonomian bagian tengah timur kota ini. Sebuah daerah yang banyak orang tidak tahu merupakan bekas dari sebuah istana/pusat Kerajaan Singosari. Kuto Bedah, nama daerah itu.

Suatu pagi di Pasar Kebalen|Dokumentasi pribadi
Suatu pagi di Pasar Kebalen|Dokumentasi pribadi
Kuto Bedah adalah sebuah daerah yang sekarang masuk wilayah Kelurahan Kotalama, Kecamatan Kedungkandang. Wilayah ini juga termasuk sebagian wilayah Kelurahan Polehan, Kecamatan Blimbing, dan daerah timur Kelurahan Jodipan yang sekarang terkenal dengan kampung warna-warninya. Jika ingin mengunjungi daerah ini, maka kita bisa memulai dari Klenteng En Ang Kiong yang terletak di timur Pasar Besar Malang. Di dekat klenteng ini, ada Pasar Kebalen tadi dan mulai tampak permukiman padat penduduk yang berada di perbukitan tepi sungai.

Ciri khas dari daerah ini adalah letaknya yang berada di antara tiga sungai besar, yakni Sungai Brantas, Sungai Bango, dan Sungai Amprong. Pertemuan tiga sungai itu menyebabkan daerah ini cukup strategis jika digunakan untuk pertahanan sebuah negara. Kuto Bedah dilindungi parit alam berupa aliran sungai tadi dan parit buatan yang menghubungkan sungai-sungai tersebut.

Menilik strategisnya daerah ini, maka sumber sejarah menyebutkan bahwa Kuto Bedah sebenarnya pernah digunakan untuk pusat pemerintahan Kerajaan Singosari. Tepatnya, pada masa pemerintahan Ken Arok, sang pendiri kerajaan. Ken Arok sendiri memerintah Singosari antara tahun 1182 (saat masih bernama Tumapel) hingga terbunuh oleh Anusapati tahun 1227. Daerah ini terus dijadikan pusat pemerintahan Singosari oleh pengganti Ken Arok, yakni Anusapati dan Tohjaya. Hingga pada masa pemerintahan Wisnuwardhana, tepatnya tahun 1254, ibu kota kerajaan dipindahkan ke daerah yang sekarang dikenal dengan Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.

Bukti bahwa daerah Kutobedah pernah dijadikan pusat pemerintahan terangkum dalam Kakawin Negarakertagama yang berbunyi:

"Suatu daerah di sebelah timur G. Kawi yang subur makmur//Di situlah putra Girindramenjadi seorang pemimpin//Menggairahkan budiman, menaklukkan para penjahat, mendirikan negara, semua rakyat patuh padanya/ Ibukota negara bernama Kutharaja, Ranggah Rajasa nama gelarnya" (Peigeaud, 1960 : 45)

Sesungguhnya, jika membaca kakawin tersebut, tak nampak kata Kuto Bedah, di dalamnya. Yang ada adalah Kutharaja. Bahkan nama Tumapel atau Singasari pun tak disebut. Inilah yang masih menjadi misteri dari para peneliti sejarah mengenai lokasi persis keraton/istana Raja Singosari ini. Yang jelas, nama Kuto Bedah baru tampak pada peta Rupabhumi (Candrasengakala) yang terbit pada 1811. Peta ini menggambarkan daerah Kuto Bedah sebagai ibu kota Kerajaan Singosari. Meski, banyak buku-buku terbitan Belanda yang masih memakai Kutharaja/Kutorejo untuk menyebut daerah ini. Hingga kini, Kuto Bedah juga masih dipakai untuk menujuk kawasan padat penduduk di Kelurahan Kotalama tadi.

Salah satu gang masuk di Kuto Bedah yang menuruni bukit. Siapkan tenaga ekstra untuk kembali ke jalan besar|Dokumentasi pribadi
Salah satu gang masuk di Kuto Bedah yang menuruni bukit. Siapkan tenaga ekstra untuk kembali ke jalan besar|Dokumentasi pribadi
Bukti arkeologis Kuto Bedah merupakan pusat Kerajaan Singosari adalah adanya parit buatan dengan panjang galian 785 m dan lebar 12 meter. Ada dua buah parit yang menghubungkan Sungai Brantas di sisi barat dengan Kali Bango di sisi timur. Parit di sisi bagian utara sekarang digunakan untuk akses jalan menuju Kali Bango sekarang digunakan untuk akses jalan menuju Kali Bango dan tempat pembuangan sampah. Sedangkan parit yang mengarah ke Kali Brantas kini sudah dipadati permukiman penduduk.

Buangan limbah domestik yang mengalir menuju Sungai Brantas. RTRW Pemkot Malang sedang mengusahakan salah satu kelurahan terkumuh di Kota Malang ini menjadi lebih baik|Dokumentasi pribadi
Buangan limbah domestik yang mengalir menuju Sungai Brantas. RTRW Pemkot Malang sedang mengusahakan salah satu kelurahan terkumuh di Kota Malang ini menjadi lebih baik|Dokumentasi pribadi
Di dasar parit ditemukan bata-bata kuno yang ukurannya sama dengan bata-bata di Situs Singosari. Raffles, Gubernur Inggris yang sangat peduli dengan sejarah Pulau Jawa menemukan bahwa bata-bata kuno tersebut adalah bekas reruntuhan benteng. Parit-parit tersebut adalah "barrier" guna menghalangi pergerakan musuh. Bisa jadi, fungsinya mirip dengan apa yang pernah saya baca ketika Rasulullah membuat parit untuk melindungi Kota Madinah pada Perang Khandaq.

Seorang pedagang sedang m,elintas di atas jembatan Sungai Brantas dan sedang menuju Pasar Kebalen|Dokumentasi pribadi
Seorang pedagang sedang m,elintas di atas jembatan Sungai Brantas dan sedang menuju Pasar Kebalen|Dokumentasi pribadi
Bata-bata kuno juga ditemukan di tepi jalan kampung menuju Kali Bango. Sebagian di antaranya dimanfaatkan warga untuk komponen bahan bangunan rumah mereka. Itulah sebabnya jika kita datang ke perkampungan ini, kita serasa berada di sebuah tempat yang mirip dengan bekas candi, seperti Candi Borobudur. Naik dan turun.

Rumah di Kuto Bedah yang menggunakan pondasi bekas bata kuno.|Dokumentasi pribadi
Rumah di Kuto Bedah yang menggunakan pondasi bekas bata kuno.|Dokumentasi pribadi
Selain peninggalan berupa bata-bata dan parit, banyak peninggalan sejarah di lingkungan Kuto Bedah ini. Di antaranya adalah Arca Boddhisattwa, sebuah Arca Indra, enam Arca Brahma, 21 Arca Mahayogi, 24 arca Ganesha, 15 arca raksasa, dua arca naga, dua arca singa, dan beberapa arca berbentuk hewan lainnya. Sayang, arca-arca tersebut banyak yang sudah raib.

Berhubung sejak 1254 Kuto Bedah tak lagi menjadi pusat kerajaan, maka daerah ini perlahan mulai surut. Tak lagi penting. Baru pada masa Pemerintahan Kadipaten Malang, yakni pada masa Adipati Rangga Tohjowo (sekitar 1600 Masehi), daerah ini kembali menjadi pusat pemerintahan.

Semakin masuk ke perkampungan, jalan semakin sempit dan menurun|Dokumentasi pribadi
Semakin masuk ke perkampungan, jalan semakin sempit dan menurun|Dokumentasi pribadi
Ada cerita unik lain mengenai Kuto Bedah yang berasal dari tradisi lisan. Cerita ini diceritakan turun temurun yang bernama Babad Malang. Dalam babad ini diceritakan, akhirnya daerah Malang bisa ditaklukkan oleh Kerajaan Mataram Islam. Cita-cita Sultan Agung Hanyokrokusumo, Raja Mataram yang ingin menyatukan Jawa terhalang oleh geografis daerah ini dan gigihnya masyarakat Malang yang tak sudi menjadi bagian dari Kerajaan Mataram dan menjadi daerah Mataraman. Namun, akhirnya Kerajaan Mataram mampu menjebol benteng pertahanan daerah Malang tepat di pusat pemerintahannya. Makanya, daerah ini disebut Kuto Bedah (kota yang dibelah/diobrak-abrik).

Seorang ibu yang menggendong anaknya sedang meniti jembatan gantung yang berdiri di atas Sungai Brantas. Jika tak punya nyali, jangan coba-coba menaiki kendaraan bermotor di sini.|Dokumentasi pribadi
Seorang ibu yang menggendong anaknya sedang meniti jembatan gantung yang berdiri di atas Sungai Brantas. Jika tak punya nyali, jangan coba-coba menaiki kendaraan bermotor di sini.|Dokumentasi pribadi
Meski akhirnya menjadi bagian dari Mataram, hingga kini daerah Malang tak berhasil dikuasai Mataram dari sisi "sosial-budaya" secara penuh. Terbukti, Malang adalah Kawasan Arek yang memiliki kebudayaan sangat berbeda dengan daerah Mataraman, baik dari bahasa, adat-istiadat, dan keseniannya. Serbuan migrasi orang-orang Madura secara bertahap dengan jumlah signifikan ke kawasan ini juga akhirnya membuat Kuto Bedah menjadi sebuah daerah yang unik di Kota Malang. Menjadi sejumput daerah mayoritas berbahasa Madura, di tengah mayoritas penutur bahasa Jawa Arekan.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Atiku rasane loro
Nyawang kowe rabi ro wong liyo
Nangis getih eluhku, remuk ajur rosoku
Kowe tego ninggal aku

Petikan lagu hits dari Nella Kharisma yang terdengar dari sebuah acara hajatan dekat Pasar Kebalen membuyarkan lamunan saya akan kisah Kuto Bedah ini. Meski masyarakat di daerah ini bercakap-cakap dalam bahasa Madura, namun mereka tetap memutar lagu-lagu berbahasa Jawa untuk acara hajatan yang mereka gelar. Mereka juga bisa berbicara menggunakan bahasa Jawa Timuran (Arekan) dengan logat Madura kental.

Ah, andai saja daerah Kuto Bedah ini masih menyimpan sisa peninggalannnya, bukan tak mungkin akan menjadi sebuah situs terkenal yang sangat apik. Segagah Machu Picchu, atau kalau tidak seindah Istana Ratu Boko. Berdiri diantara aliran sungai dan parit, membelah bukit, dan berada di tengah modernitas Kota Malang yang semakin melesat ke depan. Sayang, jejak itu kini tak tampak lagi.

Sumber tulisan :
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang. 2013. Wanwacarita, Kesejarahan Desa-Desa Kuno di Kota Malang.

Gambar: Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun