A: Halloo... Brodin..?
B: Oh, halo Ashar, da'ramma kabarra?
A: Alhamdulillah sehat. Sakalangkon. Ba'en da'remma keya?
B: Pada saean. Ce' bannya'en ban-gibanna. Da'emma'a reya?
A: Engko' entarra da' romana tang anom reh.
B: O, da'iyya ya.
Saya mengunyah sempol, jajanan khas Kota Malang dengan lahap sambil duduk manja di sebuah pos kamling yang tak jauh dari sebuah pasar. Di depan saya, dua orang bercakap-cakap dengan bahasa yang tak saya mengerti. Entah apa yang mereka bicarakan. Saya seperti terasing di tengah kerumunan orang-orang di sekeliling saya. Padahal, saya sedang berada di kota sendiri. Menikmati minggu pagi di sebuah pasar yang sangat ramai. Pasar Kebalen namanya. Setelah menghabiskan sempol, saya sejenak berjalan di sekitar pasar tersebut.
Meski mayoritas orang Malang adalah suku Jawa dengan ciri khas Arek Malang (Arema), namun di pasar ini, orang yang bersuku Jawa dan bertutur kata bahasa Jawa bisa dihitung jari. Penduduk di daerah sekitar pasar tersebut mayoritas adalah Suku Madura. Setiap hari, mereka menggerakkan denyut nadi perekonomian bagian tengah timur kota ini. Sebuah daerah yang banyak orang tidak tahu merupakan bekas dari sebuah istana/pusat Kerajaan Singosari. Kuto Bedah, nama daerah itu.
Ciri khas dari daerah ini adalah letaknya yang berada di antara tiga sungai besar, yakni Sungai Brantas, Sungai Bango, dan Sungai Amprong. Pertemuan tiga sungai itu menyebabkan daerah ini cukup strategis jika digunakan untuk pertahanan sebuah negara. Kuto Bedah dilindungi parit alam berupa aliran sungai tadi dan parit buatan yang menghubungkan sungai-sungai tersebut.
Menilik strategisnya daerah ini, maka sumber sejarah menyebutkan bahwa Kuto Bedah sebenarnya pernah digunakan untuk pusat pemerintahan Kerajaan Singosari. Tepatnya, pada masa pemerintahan Ken Arok, sang pendiri kerajaan. Ken Arok sendiri memerintah Singosari antara tahun 1182 (saat masih bernama Tumapel) hingga terbunuh oleh Anusapati tahun 1227. Daerah ini terus dijadikan pusat pemerintahan Singosari oleh pengganti Ken Arok, yakni Anusapati dan Tohjaya. Hingga pada masa pemerintahan Wisnuwardhana, tepatnya tahun 1254, ibu kota kerajaan dipindahkan ke daerah yang sekarang dikenal dengan Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Bukti bahwa daerah Kutobedah pernah dijadikan pusat pemerintahan terangkum dalam Kakawin Negarakertagama yang berbunyi:
"Suatu daerah di sebelah timur G. Kawi yang subur makmur//Di situlah putra Girindramenjadi seorang pemimpin//Menggairahkan budiman, menaklukkan para penjahat, mendirikan negara, semua rakyat patuh padanya/ Ibukota negara bernama Kutharaja, Ranggah Rajasa nama gelarnya" (Peigeaud, 1960 : 45)
Sesungguhnya, jika membaca kakawin tersebut, tak nampak kata Kuto Bedah, di dalamnya. Yang ada adalah Kutharaja. Bahkan nama Tumapel atau Singasari pun tak disebut. Inilah yang masih menjadi misteri dari para peneliti sejarah mengenai lokasi persis keraton/istana Raja Singosari ini. Yang jelas, nama Kuto Bedah baru tampak pada peta Rupabhumi (Candrasengakala) yang terbit pada 1811. Peta ini menggambarkan daerah Kuto Bedah sebagai ibu kota Kerajaan Singosari. Meski, banyak buku-buku terbitan Belanda yang masih memakai Kutharaja/Kutorejo untuk menyebut daerah ini. Hingga kini, Kuto Bedah juga masih dipakai untuk menujuk kawasan padat penduduk di Kelurahan Kotalama tadi.
Berhubung sejak 1254 Kuto Bedah tak lagi menjadi pusat kerajaan, maka daerah ini perlahan mulai surut. Tak lagi penting. Baru pada masa Pemerintahan Kadipaten Malang, yakni pada masa Adipati Rangga Tohjowo (sekitar 1600 Masehi), daerah ini kembali menjadi pusat pemerintahan.
Nyawang kowe rabi ro wong liyo
Nangis getih eluhku, remuk ajur rosoku
Kowe tego ninggal aku
Petikan lagu hits dari Nella Kharisma yang terdengar dari sebuah acara hajatan dekat Pasar Kebalen membuyarkan lamunan saya akan kisah Kuto Bedah ini. Meski masyarakat di daerah ini bercakap-cakap dalam bahasa Madura, namun mereka tetap memutar lagu-lagu berbahasa Jawa untuk acara hajatan yang mereka gelar. Mereka juga bisa berbicara menggunakan bahasa Jawa Timuran (Arekan) dengan logat Madura kental.
Ah, andai saja daerah Kuto Bedah ini masih menyimpan sisa peninggalannnya, bukan tak mungkin akan menjadi sebuah situs terkenal yang sangat apik. Segagah Machu Picchu, atau kalau tidak seindah Istana Ratu Boko. Berdiri diantara aliran sungai dan parit, membelah bukit, dan berada di tengah modernitas Kota Malang yang semakin melesat ke depan. Sayang, jejak itu kini tak tampak lagi.
Sumber tulisan :
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang. 2013. Wanwacarita, Kesejarahan Desa-Desa Kuno di Kota Malang.
Gambar: Dokpri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H