Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Dua Alun-alun Kota Malang, Ruang Terbuka Rakyat vs Ruang Eksklusif Penguasa

23 Februari 2017   22:33 Diperbarui: 24 Februari 2017   18:00 3420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua wanita sedang narsis di taman Alun-alun Bunder. Saya baru sadar, warna dasar tulisan "Balaikota Malang" menunjukkan dari mana sang penguasa kota berasal.

Sebuah bus Macito (Malang City Tour) sedang melintas di depan Gedung DPRD Kota Malang, yang mewah dan eksklusif
Sebuah bus Macito (Malang City Tour) sedang melintas di depan Gedung DPRD Kota Malang, yang mewah dan eksklusif
Selain Gedung Balaikota, di sekitar alun-alun Bunder juga dibangun sekolah elit  dan eksklusif yang hanya dikhususkan untuk kaum bangsawan dan eropa. Bangunan HBS/AMS itu kini masih kokoh berdiri. Menjadi kompleks SMA Tugu (SMA Negeri 1, 3, dan 4 Malang). Bangunan sekolah-sekolah ini juga menghadap ke alun-alun bundar. Adanya sekolah tersebut semakin mencirikan stratifikasi sosial dan rasial di kawasan alun-alun bunder.

Tampak samar-samar gedung SMA Tugu, salah satu kompleks SMA elit di Kota Malang. Beruntung, selepas kemerdekaan, kaum pribumi seperti saya bisa merasakan nikmatnya menuntut ilmu di sana.
Tampak samar-samar gedung SMA Tugu, salah satu kompleks SMA elit di Kota Malang. Beruntung, selepas kemerdekaan, kaum pribumi seperti saya bisa merasakan nikmatnya menuntut ilmu di sana.
Setelah kemerdekaan, rupanya kedua alun-alun itu masih menyimpan fungsi kultural seperti masa penjajahan. Alun-alun Kota Malang (alun-alun kotak) tetap menjadi sarana rekreasi yang murah meriah bagi warga Malang. Warga Malang bisa menikmati air mancur di tengah alun-alun, duduk-duduk manis di rerumputan, memakan sempol di pinggir alun-alun, atau sekedar selfie untuk memanjakan hati. Tak ada banyak larangan ketika warga menjejakkan kaki di sana. Hanya peraturan untuk tidak membuang sampah sembarangan, larangan merokok, dan  tak membuat keonaran. Meskipun  petugas satpol PP tetap mengawasinya 24 jam, rasa memiliki alun-alun sangat kental.

Berbagai fasilitas dibangun di alun-alun kotak. Warga bisa memanfaatkannya dengan bebas dan gratis.
Berbagai fasilitas dibangun di alun-alun kotak. Warga bisa memanfaatkannya dengan bebas dan gratis.
Berbeda dengan alun-alun kotak, hingga kini alun-alun bundar masih terkesan tertutup untuk dinikmati masyarakat lebih luas. Pagar besi yang menutup tugu membuat tak banyak aktivitas bisa dilakukan di sini. Memang, taman di alun-alun ini sangat bagus. Karena sangat bagusnya itu, maka aktivitas narsis dan sebagainya cukup terbatas untuk dilakukan di sana. Tak hanya itu, tak seperti alun-alun kotak yang sering digunakan warga berkspresi dan membuat panggung hiburan, alun-alun bunder berada pada sisi yang berbeda. Panggung hiburan dan acara seremonial hanya bisa dilakukan oleh pemerintah kota. Jika pemerintah kota berselera untuk membuat pertunjukan wayang, maka pertunjukan wayang semalam suntukpun digelar. Jika pemerintah kota berkenan bershalawat massal, maka shalawat massal akan digelar.

Dua wanita sedang narsis di taman Alun-alun Bunder. Saya baru sadar, warna dasar tulisan "Balaikota Malang" menunjukkan dari mana sang penguasa kota berasal.
Dua wanita sedang narsis di taman Alun-alun Bunder. Saya baru sadar, warna dasar tulisan "Balaikota Malang" menunjukkan dari mana sang penguasa kota berasal.
Meski saling beroposisi, kedua alun-alun tetap menajadi komposisi biner yang saling melengkapi sejarah panjang Kota Malang dan kehidupan warganya.     

Sumber Bacaan :

Basundawan, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman : Surabaya dan Malang. Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang. 2013. Wanwacarita, Kesejarahan Desa-Desa Kuno di Kota Malang. Malang : Disbupar Kota Malang.

Handianoto dan Soehargo, Paulus H. 1996. Perkembangan Kota dan Arsiterktur Kolonial di Malang. Surabaya-Yogyakarta : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Univ. Kristen Petra dan Penerbit Andi.   

Sumber Gambar 

Jepretan masa kini : Dokumen Pribadi

Jepretan jadul: www.kitlv.nl

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun