Konsep Sartre tentang "niat buruk" (mauvaise foi) juga memiliki peran penting dalam analisisnya tentang cinta. Niat buruk adalah kondisi di mana seseorang menipu diri sendiri untuk menghindari kenyataan kebebasan mereka yang mutlak.
Dalam konteks cinta, niat buruk dapat muncul ketika kita mencoba menolak kenyataan bahwa kita tidak dapat sepenuhnya memiliki kebebasan orang lain. Misalnya, seseorang mungkin berpura-pura bahwa mereka mencintai seseorang dengan tulus, tetapi pada saat yang sama mereka berusaha membatasi kebebasan pasangan mereka untuk menjaga rasa aman emosional.
Begitu juga, pasangan yang dicintai mungkin berpura-pura bahagia dalam ikatan tersebut meski merasa kebebasannya terancam. Dalam kedua kasus tersebut, cinta menjadi permainan niat buruk, di mana kedua pihak berusaha menghindari kenyataan bahwa kebebasan tidak dapat dikorbankan tanpa kehilangan integritas diri.
Karena kebebasan tidak bisa sepenuhnya dimiliki atau dikendalikan, Sartre percaya bahwa cinta tak terelakkan membawa kecemasan dan konflik. Kita menginginkan cinta sebagai bentuk keterhubungan, tetapi keterhubungan itu selalu disertai risiko kehilangan kebebasan atau mereduksi diri kita atau orang lain menjadi objek.
Menurut Sartre, cinta menjadi semacam "konflik yang tidak pernah selesai" di mana individu terus-menerus berjuang untuk mencintai tanpa menghancurkan kebebasan pihak lain, namun juga tanpa mengorbankan kebutuhan untuk diakui dan dicintai kembali.
Sebuah paradoks eksistensial
Cinta adalah sebuah paradoks eksistensial. Di satu sisi, cinta adalah ekspresi dari keinginan manusia untuk diakui dan dicintai oleh orang lain. Di sisi lain, cinta juga membawa keinginan untuk mempertahankan kebebasan kita sendiri sekaligus menghormati kebebasan orang yang kita cintai. Konflik ini, menurut Sartre, tidak dapat diselesaikan.
Cinta selalu berada di antara keinginan untuk kebebasan dan ketakutan akan hilangnya kebebasan dalam hubungan. Dengan demikian, Sartre tidak memandang cinta sebagai sesuatu yang sepenuhnya indah atau harmonis.
Sebaliknya, cinta adalah medan di mana kebebasan kita diuji dan di mana kita harus menghadapi kenyataan pahit bahwa kita tidak bisa sepenuhnya memiliki atau mengendalikan orang lain, sebagaimana orang lain juga tidak bisa sepenuhnya memiliki kita. Cinta adalah ekspresi dari kebebasan kita, tetapi juga pengingat akan keterbatasannya.
Cinta, dalam pandangan Sartre adalah cerminan dari kondisi eksistensial manusia itu sendiri: bebas, namun terbatas; penuh hasrat, namun selalu penuh ketegangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H