Sudah banyak tulisan yang membahas mengenai cinta -- teori cinta, atau bahkan novel romantis yang gemar dibaca oleh para remaja. Peran cinta begitu hebat dalam kehidupan manusia sehari-hari, ia-lah sang pencetus perasaan sedih, marah, bahagia, hingga keputusasaan. Melalui perasaan itu, manusia memiliki makna yang berbeda terhadap cinta.
Bangku SMA menjadi bukti pertama bahwa cinta membawa kebahagiaan bagi dua sejoli yang saling bermesraan ketika jam istirahat tiba. Ketika tugas turunan fungsi trigonometri menjadi suatu permasalahan semasa SMA, sepasang kekasih itu menikmati setiap angka yang menari-nari disetiap tatapan muka, berharap hanya mereka yang ada di dunia.
Saat itu, sepasang kekasih memaknai cinta sebagai sesuatu yang mengisi hari-hari ketika waktu terasa berjalan lebih lambat, seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua. Cinta bagi mereka adalah canda tawa di sela-sela pelajaran, diskusi kecil di sudut kelas, dan sentuhan lembut jari yang bersembunyi di bawah meja. Cinta memberi makna pada rutinitas yang biasa saja---mengubah kepenatan belajar menjadi momen yang penuh kegembiraan.
Di setiap pandangan mata, ada janji bahwa hari esok akan lebih indah, bahwa masalah-masalah rumit dalam pelajaran matematika atau fisika hanyalah tantangan kecil yang bisa mereka hadapi bersama. Namun, seperti kehidupan yang terus berjalan, cinta di bangku SMA yang terlihat sederhana dan murni mulai menghadapi realitas yang lebih kompleks. Ketika ujian semakin mendekat, tekanan mulai menghantui, dan keputusan-keputusan besar tentang masa depan harus dibuat, cinta mereka pun diuji. Pada titik inilah mereka mungkin mulai menyadari bahwa cinta bukan hanya tentang kebahagiaan dan keceriaan, tetapi juga tentang kompromi, pengorbanan, dan rasa takut kehilangan.
Seketika makna cinta berubah ketika salah satu dari mereka, yang dulu tampak begitu setia dan tergila-gila pada satu sama lain, mulai melirik lawan jenis yang lain saat memasuki kehidupan baru sebagai mahasiswa. Dunia kampus dengan segala kebebasannya memperkenalkan berbagai wajah baru, pengalaman baru, dan tantangan yang berbeda. Apa yang dulu terasa kokoh, kini mulai retak di bawah tekanan godaan dan rasa ingin tahu yang begitu besar.
Pada awalnya, perubahan itu tampak halus---sekedar pandangan sekilas atau obrolan ringan dengan teman baru. Namun, perlahan-lahan, percikan keingintahuan berubah menjadi ketertarikan. Cinta yang dulu dipahami sebagai keterikatan erat, kini menjadi pertanyaan tentang kebebasan pribadi. Mungkin salah satu dari mereka mulai bertanya-tanya, apakah cinta yang mereka jalani selama ini adalah pilihan bebas, ataukah sekadar keterbiasaan yang terjalin sejak masa SMA? Kehidupan kampus, dengan segala dinamikanya, membuka cakrawala baru bagi mereka berdua.
Teman-teman baru, kegiatan yang tak pernah mereka bayangkan, serta cita-cita yang semakin jelas di depan mata. Semua itu menarik, tetapi juga menantang hubungan yang pernah tampak abadi di bangku sekolah. Keterikatan yang dulu dianggap sebagai kenyamanan, kini terasa seperti beban bagi salah satu dari mereka. Ada keinginan untuk menjelajahi dunia baru tanpa harus terikat pada masa lalu.
Ketika salah satu mulai terpesona oleh seseorang yang baru, cinta yang dulu manis dan hangat kini terasa hambar dan jauh. Pasangan yang dulunya saling menggenggam erat, kini berada di persimpangan jalan, bertanya-tanya tentang masa depan mereka bersama. Perasaan cinta yang dulu penuh kepastian, kini digantikan oleh keraguan dan kegelisahan. Apakah cinta di masa SMA hanyalah ilusi sementara? Atau apakah mungkin cinta mereka bisa bertahan di tengah perubahan yang begitu besar?
Perubahan ini menempatkan mereka di titik yang sulit---di mana cinta harus dihadapi dengan kejujuran dan realitas, bukan lagi impian romantis belaka. Bagi yang terluka, cinta kini bermakna perpisahan, kehilangan, dan rasa kecewa. Sementara bagi yang tergoda oleh kebebasan baru, cinta mungkin tampak sebagai beban yang perlu dilepaskan demi menemukan jati diri. Pada akhirnya, cinta, seperti halnya hidup, berubah seiring waktu. Di saat salah satu mulai melirik yang lain, makna cinta bergeser dari janji yang manis menjadi pelajaran pahit tentang pertumbuhan, perubahan, dan penerimaan. Dan mungkin, dari perpisahan itu, mereka akan belajar bahwa cinta tidak selalu tentang memiliki, tetapi tentang memahami kapan harus melepaskan.
Kebebasan dan Keterikatan
Cinta adalah ketika seseorang menempatkan nilai dan makna hidupnya kepada orang yang dicintai. Sebuah hubungan inter-personal yang begitu rumit hingga menuju suatu ketidak pastian dalam makna itu sendiri. Cinta adalah konflik! Begitulah ketika Sartre memaknainya. Jean-Paul Sartre, seorang filsuf, penulis, dan intelektual terkemuka dari Prancis pada abad ke-20, memandang cinta sebagai sebuah konflik. Sartre lahir di Paris dan tumbuh di keluarga borjuis.Â
Ketika masih kecil, ayahnya meninggal dunia, sehingga Sartre dibesarkan oleh ibunya, bersama kakek dan neneknya. Ia menempuh pendidikan di cole Normale Suprieure dan kemudian mengajar di sekolah menengah di Le Havre dan Paris. Pada tahun 1938, Sartre menerbitkan novel pertamanya yang berjudul La Nause (Mual), yang menjadi salah satu karya utama dalam sastra eksistensialis.Â
Selama Perang Dunia II, Sartre berjuang melawan pendudukan Jerman serta menjadi anggota gerakan perlawanan Prancis. Setelah perang, beliau menjadi salah satu tokoh utama dalam gerakan filsafat eksistensialis dan sering dianggap sebagai tokoh intelektual yang paling berpengaruh di Prancis pada saat itu.
Ketika diterapkan pada cinta, Sartre menyoroti bahwa setiap individu adalah subjek yang bebas, yang memiliki hak dan kekuatan untuk membuat pilihan mereka sendiri. Saat seseorang mencintai, ia juga memberikan kekuasaan pada orang tersebut karena ia membutuhkan pengakuan, persetujuan, dan ketergantungan dari orang tersebut.
Ketika salah satu dari pasangan selalu menanyakan "kamu sayang aku gak?" disetiap harinya dan membuat beberapa larangan yang mengikat -- merupakan bukti adanya keinginan untuk "mengamankan" cinta dari orang lain.
Di sinilah muncul konflik fundamental: bagaimana mungkin kita mencintai seseorang dan pada saat yang sama membiarkan mereka tetap bebas? Kebebasan yang dimaksud ialah tidak ada batasan atas kebebasan pribadi, kecuali kebebasan itu sendiri, atau jika mau -- kita  tidak bebas untuk berhenti bebas.
Sartre melihat cinta sebagai bentuk upaya untuk mengatasi keterpisahan eksistensial antara dua individu. Ketika kita mencintai seseorang, kita tidak hanya ingin dipandang baik oleh mereka, tetapi juga ingin menjadi objek cinta mereka, sebuah hal yang menurut Sartre secara implisit melibatkan upaya untuk "mengikat" kebebasan mereka. Dalam karyanya, Being and Nothingness (L'tre et le nant), Sartre menggambarkan cinta sebagai tindakan yang pada dasarnya kontradiktif.
Di satu sisi, kita ingin orang yang kita cintai tetap bebas dan mandiri, tetapi di sisi lain, kita juga menginginkan pengakuan dan komitmen dari mereka, yang berarti kita berharap untuk "memiliki" cinta mereka secara permanen.
Inilah dilema besar cinta dalam pandangan Sartre: kita ingin orang yang kita cintai tetap menjadi subjek yang bebas, tetapi kita juga ingin mereka mengabdikan diri kepada kita. Seperti disaat ada perokok yang tahu dampak buruk dari merokok tetapi ia tetap melanjutkan kebiasaan buruknya.
mauvaise foi
Konsep Sartre tentang "niat buruk" (mauvaise foi) juga memiliki peran penting dalam analisisnya tentang cinta. Niat buruk adalah kondisi di mana seseorang menipu diri sendiri untuk menghindari kenyataan kebebasan mereka yang mutlak.
Dalam konteks cinta, niat buruk dapat muncul ketika kita mencoba menolak kenyataan bahwa kita tidak dapat sepenuhnya memiliki kebebasan orang lain. Misalnya, seseorang mungkin berpura-pura bahwa mereka mencintai seseorang dengan tulus, tetapi pada saat yang sama mereka berusaha membatasi kebebasan pasangan mereka untuk menjaga rasa aman emosional.
Begitu juga, pasangan yang dicintai mungkin berpura-pura bahagia dalam ikatan tersebut meski merasa kebebasannya terancam. Dalam kedua kasus tersebut, cinta menjadi permainan niat buruk, di mana kedua pihak berusaha menghindari kenyataan bahwa kebebasan tidak dapat dikorbankan tanpa kehilangan integritas diri.
Karena kebebasan tidak bisa sepenuhnya dimiliki atau dikendalikan, Sartre percaya bahwa cinta tak terelakkan membawa kecemasan dan konflik. Kita menginginkan cinta sebagai bentuk keterhubungan, tetapi keterhubungan itu selalu disertai risiko kehilangan kebebasan atau mereduksi diri kita atau orang lain menjadi objek.
Menurut Sartre, cinta menjadi semacam "konflik yang tidak pernah selesai" di mana individu terus-menerus berjuang untuk mencintai tanpa menghancurkan kebebasan pihak lain, namun juga tanpa mengorbankan kebutuhan untuk diakui dan dicintai kembali.
Sebuah paradoks eksistensial
Cinta adalah sebuah paradoks eksistensial. Di satu sisi, cinta adalah ekspresi dari keinginan manusia untuk diakui dan dicintai oleh orang lain. Di sisi lain, cinta juga membawa keinginan untuk mempertahankan kebebasan kita sendiri sekaligus menghormati kebebasan orang yang kita cintai. Konflik ini, menurut Sartre, tidak dapat diselesaikan.
Sebaliknya, cinta adalah medan di mana kebebasan kita diuji dan di mana kita harus menghadapi kenyataan pahit bahwa kita tidak bisa sepenuhnya memiliki atau mengendalikan orang lain, sebagaimana orang lain juga tidak bisa sepenuhnya memiliki kita. Cinta adalah ekspresi dari kebebasan kita, tetapi juga pengingat akan keterbatasannya.
Cinta, dalam pandangan Sartre adalah cerminan dari kondisi eksistensial manusia itu sendiri: bebas, namun terbatas; penuh hasrat, namun selalu penuh ketegangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI