Cinta adalah ketika seseorang menempatkan nilai dan makna hidupnya kepada orang yang dicintai. Sebuah hubungan inter-personal yang begitu rumit hingga menuju suatu ketidak pastian dalam makna itu sendiri. Cinta adalah konflik! Begitulah ketika Sartre memaknainya. Jean-Paul Sartre, seorang filsuf, penulis, dan intelektual terkemuka dari Prancis pada abad ke-20, memandang cinta sebagai sebuah konflik. Sartre lahir di Paris dan tumbuh di keluarga borjuis.Â
Ketika masih kecil, ayahnya meninggal dunia, sehingga Sartre dibesarkan oleh ibunya, bersama kakek dan neneknya. Ia menempuh pendidikan di cole Normale Suprieure dan kemudian mengajar di sekolah menengah di Le Havre dan Paris. Pada tahun 1938, Sartre menerbitkan novel pertamanya yang berjudul La Nause (Mual), yang menjadi salah satu karya utama dalam sastra eksistensialis.Â
Selama Perang Dunia II, Sartre berjuang melawan pendudukan Jerman serta menjadi anggota gerakan perlawanan Prancis. Setelah perang, beliau menjadi salah satu tokoh utama dalam gerakan filsafat eksistensialis dan sering dianggap sebagai tokoh intelektual yang paling berpengaruh di Prancis pada saat itu.
eksistensialisme, kebebasan manusia menjadi tema sentral. Sartre meyakini bahwa manusia "terkutuk untuk bebas"---kita adalah makhluk yang sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakan kita, dan kita selalu memiliki pilihan. Kebebasan ini bersifat mutlak, tetapi juga membawa beban tanggung jawab yang besar.
Dalam filsafatKetika diterapkan pada cinta, Sartre menyoroti bahwa setiap individu adalah subjek yang bebas, yang memiliki hak dan kekuatan untuk membuat pilihan mereka sendiri. Saat seseorang mencintai, ia juga memberikan kekuasaan pada orang tersebut karena ia membutuhkan pengakuan, persetujuan, dan ketergantungan dari orang tersebut.
Ketika salah satu dari pasangan selalu menanyakan "kamu sayang aku gak?" disetiap harinya dan membuat beberapa larangan yang mengikat -- merupakan bukti adanya keinginan untuk "mengamankan" cinta dari orang lain.
Di sinilah muncul konflik fundamental: bagaimana mungkin kita mencintai seseorang dan pada saat yang sama membiarkan mereka tetap bebas? Kebebasan yang dimaksud ialah tidak ada batasan atas kebebasan pribadi, kecuali kebebasan itu sendiri, atau jika mau -- kita  tidak bebas untuk berhenti bebas.
Sartre melihat cinta sebagai bentuk upaya untuk mengatasi keterpisahan eksistensial antara dua individu. Ketika kita mencintai seseorang, kita tidak hanya ingin dipandang baik oleh mereka, tetapi juga ingin menjadi objek cinta mereka, sebuah hal yang menurut Sartre secara implisit melibatkan upaya untuk "mengikat" kebebasan mereka. Dalam karyanya, Being and Nothingness (L'tre et le nant), Sartre menggambarkan cinta sebagai tindakan yang pada dasarnya kontradiktif.
Di satu sisi, kita ingin orang yang kita cintai tetap bebas dan mandiri, tetapi di sisi lain, kita juga menginginkan pengakuan dan komitmen dari mereka, yang berarti kita berharap untuk "memiliki" cinta mereka secara permanen.
Inilah dilema besar cinta dalam pandangan Sartre: kita ingin orang yang kita cintai tetap menjadi subjek yang bebas, tetapi kita juga ingin mereka mengabdikan diri kepada kita. Seperti disaat ada perokok yang tahu dampak buruk dari merokok tetapi ia tetap melanjutkan kebiasaan buruknya.
mauvaise foi