Salah satu kritikan utama saya terhadap TikTok adalah bahwa algoritma dan mekanisme platform mendorong homogenisasi dan menghambat kreativitas sejati. Pengguna sering kali merasa terdorong untuk mengikuti tren yang ada agar bisa mendapatkan lebih banyak penonton dan "like". Akibatnya, banyak konten yang dihasilkan cenderung seragam dan kurang orisinal. Ini bertentangan dengan semangat post-modern yang menghargai keunikan dan keragaman dalam ekspresi artistik.
Pengaruh Algoritma dan Ekonomi Atensi
Algoritma TikTok memainkan peran besar dalam menentukan konten apa yang dilihat oleh pengguna. Dalam buku "The Attention Merchants," Tim Wu menggambarkan bagaimana ekonomi atensi bekerja, di mana perhatian pengguna dijadikan komoditas yang diperdagangkan.Â
TikTok, seperti platform media sosial lainnya, beroperasi dalam ekonomi atensi ini. Algoritma didesain untuk memaksimalkan waktu layar dan keterlibatan pengguna, yang sering kali berarti mempromosikan konten yang sudah populer atau sesuai dengan tren yang ada, bukan yang benar-benar baru atau berbeda.
Jean Baudrillard, dalam karyanya "Simulacra and Simulation," berbicara tentang bagaimana realitas telah digantikan oleh simulasi dan tanda-tanda yang tidak lagi merujuk pada sesuatu yang nyata. Dalam konteks TikTok, kita bisa melihat bagaimana platform ini menciptakan simulacra melalui konten yang berulang dan standar, yang lebih merupakan representasi dari apa yang diharapkan algoritma daripada ekspresi realitas yang autentik.
Kehilangan Identitas Individual
Dalam konteks post-modernisme, identitas adalah sesuatu yang cair dan multi-faset. TikTok, dengan kecenderungannya untuk menstandarkan konten, dapat menyebabkan kehilangan identitas individual.Â
Saya bahkan anda mungkin merasa terdorong untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma platform untuk mendapatkan validasi sosial, mengorbankan ekspresi diri yang autentik. Ini menciptakan paradoks di mana platform yang seharusnya mendukung kreativitas dan individualitas justru menghasilkan konformitas dan standar yang homogen.
Michel Foucault, dengan teorinya tentang kekuasaan dan kontrol, dapat membantu kita memahami bagaimana TikTok, melalui algoritmanya, menciptakan bentuk kekuasaan baru yang mengatur cara pengguna berinteraksi dan berkreasi. Algoritma ini dapat dilihat sebagai bentuk "panopticon" digital, di mana setiap tindakan pengguna diawasi dan diukur, mendorong mereka untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma yang ditetapkan oleh platform.
Standar Pasangan yang Dibentuk oleh TikTok
TikTok tidak hanya mempengaruhi bagaimana orang berinteraksi dengan konten, tetapi juga bagaimana mereka memandang hubungan dan pasangan ideal. Saya banyak melihat konten di TikTok yang menampilkan pasangan dengan standar kecantikan tertentu, gaya hidup yang glamor, dan hubungan yang sering kali terlalu disederhanakan menjadi momen-momen romantis yang dramatis atau lucu. Ini menciptakan standar tertentu tentang apa yang dianggap sebagai "hubungan yang sempurna."