Seperti yang sedang viral di beberapa media sosial tentang unggahan dari akun Instagram bernama @roronoazorooooool yang menceritakan standar TikTok merusak keindahan asli manusia. Dalam akun tersebut, penulis menceritakan bahwa media sosial membuat semua orang merasa punya begitu banyak pilihan untuk dirinya, padahal sebenarnya tidak. Penulis menambahkan untuk mencoba memperhatikan orang yang mencintai, menghargai, dan peduli di kehidupan nyata.
Tokoh post-modern seperti Judith Butler, yang dikenal dengan teorinya tentang performativitas gender, dapat membantu kita memahami bagaimana representasi pasangan di TikTok mempengaruhi persepsi publik tentang hubungan. Butler berargumen bahwa identitas gender dan peran sosial bukanlah sesuatu yang intrinsik, tetapi dibentuk melalui repetisi tindakan dan representasi. Dalam konteks TikTok, pasangan yang sering kali diidolakan adalah yang memenuhi standar tertentu yang terus-menerus diperkuat oleh algoritma dan budaya visual platform.
Saya melihat jika standarisasi ini terus menerus dikonsumsi masyarakat, dapat menyebabkan tekanan sosial yang signifikan, di mana individu merasa perlu untuk menyesuaikan diri dengan standar yang tidak realistis agar dapat diterima atau dianggap sukses dalam hubungan. Ini dapat mengakibatkan penurunan kepuasan pribadi dan hubungan, karena individu berusaha untuk memenuhi harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan kehidupan mereka sendiri.
Tantangan yang Signifikan
TikTok, dengan algoritma yang mendorong homogenisasi konten dan ekonomi atensi yang mengutamakan popularitas, menunjukkan kemunduran nilai-nilai post-modernisme yang menghargai kebebasan, keragaman, dan ekspresi individual.Â
Meskipun platform ini menawarkan banyak peluang untuk kreativitas dan keterhubungan, tekanan untuk mengikuti tren dan standar yang ada dapat menghambat kreativitas sejati dan menyebabkan hilangnya identitas individual. Standarisasi konten pasangan di TikTok juga menciptakan persepsi yang tidak realistis tentang hubungan, menambahkan dimensi lain dari konformitas yang bertentangan dengan semangat post-modern.
Dalam era digital ini, penting dan sewajarnya untuk mengkritisi bagaimana platform seperti TikTok mempengaruhi budaya dan mendorong kita untuk menemukan cara-cara baru untuk mendukung dan merayakan kebebasan dan keragaman yang menjadi ciri khas era post-modern.Â
Dengan memahami pengaruh TikTok dari perspektif pemikir post-modern seperti Lyotard, Baudrillard, Foucault, dan Butler, kita dapat lebih kritis terhadap bagaimana teknologi membentuk budaya kita dan berupaya untuk menciptakan ruang di mana kreativitas sejati dan ekspresi individual dapat berkembang. Ini adalah tantangan yang signifikan, tetapi juga peluang untuk menghidupkan kembali semangat post-modern dalam menghadapi realitas digital kita yang terus berkembang.
Menghadapi standarisasi TikTok sebagai bentuk kemunduran era posmodern memerlukan strategi yang menitikberatkan pada literasi digital, promosi kreativitas, dan penguatan identitas budaya. Salah satu langkah utama adalah meningkatkan literasi digital di kalangan masyarakat, terutama generasi muda, untuk memahami bagaimana algoritma platform bekerja dan dampaknya terhadap persepsi budaya serta nilai-nilai estetika.
 Selain itu, penting untuk mendorong produksi dan konsumsi konten alternatif yang menampilkan keberagaman dan inovasi, baik dari segi estetika maupun perspektif budaya. Pendidikan kultural dan diskusi publik juga perlu diperkuat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga keunikan budaya di tengah derasnya arus standarisasi global.
Kolaborasi dengan pembuat kebijakan menjadi krusial dalam menciptakan regulasi yang mendukung keberagaman konten dan meningkatkan transparansi algoritma. Di sisi lain, mempertahankan fluiditas identitas posmodern dengan mengajak masyarakat untuk mendekonstruksi narasi dominan yang muncul dari platform digital menjadi langkah penting dalam menjaga kebebasan berekspresi.